Kamis, 19 September 2013

askep dialisis (Group 1)

Posted by Sistem Perkemihan 2 | Kamis, 19 September 2013 | Category: |

Penatalaksanaan asuhan keperawatan pasien dialysis hemodialisa & dialysis peritoneal



Hemodialisa

 Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis ” artinya pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah, melalui proses penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis. Hemodialisis dikenal secara awam dengan istilah ‘cuci darah’. 
Hemodialisa adalah menggerakkan cairan dari partikel-pertikel lewat membran semi permiabel yang mempunyai pengobatan yang bisa membantu mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit yang normal, mengendalikan asam dan basa, dan membuang zat-zat toksis dari tubuh. ( Long, C.B. : 381)
Hemodialisa adalah lintasan darah melalui selang dari luar tubuh ke ginjal buatan dimana pembuanagn kelebihan zat terlarut dan cairan terjadi. (Engram, B : 1999)
Hemodialisa adalah difusi partikel larut dari satu kompartemen cairan ke kompartemen lain melewatai membran semi permeabel.
(Hudak, M.C : 1996)
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dalam tubuh kita, ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Brunner& Sunddarth, 2001).

Etiologi
Hemodialisa dilakukan kerena pasien menderita gagal ginjal akut dan kronik akibat dari : azotemia, simtomatis berupa enselfalopati, perikarditis, uremia, hiperkalemia berat, kelebihan cairan yang tidak responsive dengan diuretic, asidosis yang tidak bisa diatasi, batu ginjal, dan sindrom hepatorenal.

Patofisiologi
Terjadi gagal ginjal, ginjal tidak bisa melaksanakan fungsinya faktor-fkator yang harus dipertimbangkan sebelum melaui hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik terdiri dari keadaan penyakit penyerta dan kebiasaan pasien. Waktu untuk terapi ditentukan oleh kadar kimia serum dan gejala-gejala. Hemodialisis biasanya dimulai ketika bersihan kreatin menurun dibawah 10 ml/mnt, yang biasanya sebanding dengan kadar kreatinin serum 8-10 mge/dL namun demikian yang lebih penting dari nilai laboratorium absolut adalah terdapatnya gejala-gejala uremia.

Tujuan Terapi Hemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

Indikasi dan Kontra Indikasi Terapi Hemodialisa
Indikasi
1.         Kadar kreatin serum meningkat (pria > 6 mg/100ml , wanita > 4mg/100ml).
2.         Glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit.
3.         Hiperkalemia
4.         Asidosis metabolik yang parah
5.         Uremic
6.         Overload cairan
(PERNEFRI, 2003)
Kontra Indikasi
1.         Akses vaskuler sulit
2.         Instabilisasi hemodinamik dan koagulasi
3.         Sindrom hepatorenal
4.         Sirosis hati
(PERNEFRI, 2003)

Komplikasi
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :
1.         Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
2.         Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
3.         Aritmia Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4.         Sindrom ketidakseimbangan dialisa Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
5.         Hipoksemia Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
6.         Perdarahan
7.         Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
8.         Gangguan pencernaan Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.
9.         Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler
10.     Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

Prosedur Pemasangan
(picture from web)

Peralatan
1.        Dialiser atau Ginjal Buatan
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur fisik dan tipe membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen darah. Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk sisa (klirens).
2.        Dialisat atau Cairan dialysis
Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air keran dan bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeable yang besar, air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar umumnya digunakan pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya untuk memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
3.        Sistem Pemberian Dialisat
Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien: system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien. Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air.
4.        Asesori Peralatan
Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis meliputi pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor untuk pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat, perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran darah.
5.        Komponen manusia
6.        Pengkajian dan penatalaksanaan

Perawatan Sebelum Hemodialisis (Pra HD)
a.         Persiapan mesin
1.         Listrik
2.         Air (sudah melalui pengolahan)
3.         Saluran pembuangan
4.         Dialisat (proportioning sistim, batch sistim)
b.        Persiapan peralatan + obat-obatan
1.         Infuse set
2.         Spuit : 50 cc, 5 cc, dll ; insulin
3.         Heparin inj
4.         Xylocain (anestesi local)
5.         NaCl 0,90 %
6.         Kain kasa/ Gaas steril
7.         Duk steril
8.         Sarung tangan steril
9.         Bak kecil steril
10.     Mangkuk kecil steril
11.     Klem
12.     Plester
13.     Desinfektan (alcohol + bethadine)
14.     Gelas ukur (mat kan)
15.     Timbangan BB
16.     Formulir hemodialisis
17.     Sirkulasi darah
18.     AV fistula/abocath
19.     Dialyzer/ Ginjal buatan (GB) AV Blood line
20.     Cuci tangan
c.         Pelaksanaan
1.         Letakkan GB pada holder, dengan posisi merah diatas.
2.         Hubungkan ujung putih pada ABL dengan GB ujung merah.
3.         Hubungkan ujung putih VBL dengan GB ujung biru, ujung biru VBL dihubungkan dengan alat penampung.
4.         Letakkan posisi GB terbalik, yaitu yang tanda merah dibawah, biru diatas.
5.         Gantungkan NaCl 0,9 % (2-3 kolf)
6.         Pasang infus set pada kolf NaCl.
7.         Hubungkan ujung infus set dengan ujung merah ABL atau tempat khusus.
8.         Tutup semua klem yang ada pada slang ABL, VBL, (untuk hubungan tekanan arteri, tekanan vena, pemberian obat-obatan).
9.         Buka klem ujung dari ABL, VBL dan infus set 100 ml/mJalankan Qb dengan kecepatan.
10.     Udara yang ada dalam GB harus hilang (sampai bebeas udara) dengan cara menekan-nekan VBL  Air trap/Bubble trap diisi 2/3-3/4 bagian.
11.     Setiap kolf NaCl sesudah/ hendak mengganti kolf baru Qb dimatikan.
12.     Setelah udara dalam GB habis, hubungkan ujung ABL dengan ujung VBL, klem tetap dilepas.
13.     Masukkan heparin dalam sirkulasi darah sebanyak 1500-2000 U.
14.     Ganti kolf NaCl dengan yang baru yang telah diberi heparin 500 U dan klem infus dibuka.
15.     Jalankan sirkulasi darah + soaking (melembabkan GB) selama 10-15 menit sebelu dihubungkan dengan sirkulasi sistemik (pasien).

Persiapan Sirkulasi
1.        Rinsing/Membilas GB + VBL + ABL
2.        Priming/ mengisi GB + VBL + ABL
3.        Soaking/ melembabkan GB.
4.        Volume priming : darah yang berada dalam sirkulasi (ABL + GB + VBL )

Perawatan Selama Hemodialisis (Intra HD)
a.         Persiapan pasien
1.         Anamnesa : Timbang BB, Posisi, Observasi KU  dan TTV
2.         Persiapan mental
3.         Mengisi informed consent
4.         Pasien sebelumnya dianjurkan cuci lengan & tangan dengan teknik aseptic + antiseptic : bethadine + alcohol
5.         Observasi sarana hubungan sirkulasi/ akses sirkulasi :Dengan internal A-V shunt/ fistula cimino
6.         Lakukan Anestesi local (lidocain inj, procain inj), Punksi vena (outlet). Dengan AV fistula no G.14 s/d G.16/ abocath, fiksasi, tutup dengan kasa steril
7.         Berikan bolus heparin inj (dosis awal)
b.        Persiapan alat
1.         Memprogram mesin hemodialisis :
Qb : 200 – 300 ml/m
Qd : 300 – 500 ml/m
Temperatur : 36-400C
TMP. UFR
2.         Tekanan (+) /venous pressure
Trans Membran Pressure / TMP Tekanan (-) / dialysate pressure
3.         Tekanan (+) + tekanan (-)
Arterial pressure / tekanan arteri : banyaknya darah yang keluar dari tubuh
Venous pressure / tekanan vena : lancar/ tidak darah yang masuk ke dalam.
4.         Pemberian dosis Heparin
Dosis awal : 25 – 50 U/kg BB (diberikan pada waktu punksi : sirkulasi sistem)
Dosis selanjutnya (maintenance) = 500 – 1000 U/kg BB (diberikan dengan sirkulasi (maintenance) ekstra korporeal)
c.         Memulai Hemodialisa
1.         Ujung ABL line dihubungkan dengan punksi inlet
2.         Ujung VBL line dihubungkan dengan punksi outlet
3.         Semua klem dibuka, kecuali klem infus set 100 ml/m, sampai sirkulasi darah terisi darah semua.
4.         Jalankan pompa darah (blood pump) dengan Qb
5.         Pompa darah (blood pump stop, sambungkan ujung dari VBL dengan punksi outlet
6.         Fiksasi ABL & VBL (sehingga pasien tidak sulit untuk bergerak)
7.         Cairan priming diampung di gelas ukur dan jumlahnya dicatat (cairan dikeluarkan sesuai kebutuhan)
8.         Jalankan pompa darah dengan Qb = 100 ml/m, setelah 15 menit bisa dinaikkan sampai 300 ml/m (dilihat dari keadaan pasien)
9.         Hubungkan selang-selang untuk monitor : venous pressure, arteri pressure, hidupkan air/ blood leak detector
10.     Pompa heparin dijalankan (dosis heparin sesuai keperluan). Heparin dilarutkan dengan NaCl
11.     Ukur TD, Nadi setiap 1 jam. Bila keadaan pasien tidak baik/ lemah lakukan mengukur TD, N, lebih sering.
12.     Isi formulir HD antara lain : Nama, Umur, BB, TD, S, N, P, Tipe GB, Cairan priming yang masuk, makan/minum, keluhan selama HD, masalah selama HD.

Pengamatan Observasi, Monitor Selama Hemodialisa(HD)
a.         Pengamatan pasien
1.         Observasi KU pasien, TTV
2.         Observasi perdarahan
3.         Observasi Tempat punksi inlet, outlet
4.         Observasi Keluhan / komplikasi hemodialisis
b.        Pengamatan alat
1.         Monitor Qb, Qd
2.         Monitor Temperature
3.         Monitor Koduktiviti
4.         Monitor Pressure/ tekanan : arterial, venous, dialysate, UFR
5.         Monitor Air leak & Blood leak
6.         Monitor Heparinisasi
7.         Monitor Sirkulasi ekstra corporeal
8.         Monitor Sambungan-sambungan

Perawatan Sesudah Hemodialisis (Post HD)
a.         Persiapan alat
1.         Kain kasa/ gaas steril
2.         Plester
3.         Verband gulung
4.         Alkohol/ bethadine
5.         Antibiotik powder (nebacetin/ cicatrin)
6.         Bantal pasir (1-1/2 keram) : pada punksi femoral
b.        Pelaksanaan
1.         Saat 5 menit sebelum hemodialisis berakhir Qb diturunkan sekitar 100cc/m , UFR = 0
2.         Ukur TD, nadi
3.         Blood pump stop
4.         Ujung ABL diklem, jarum inlet dicabut , bekas punksi inlet ditekan dengan kassa steril yang diberi betadine.
5.         Hubungkan ujung abl dengan infus set 50 – 100 cc) 100 ml/m (NaCl masuk : Darah dimasukkan ke dalam tubuh dengan di dorong dengan nacl sambil qb dijalankan)
6.         Setelah darah masuk ke tubuh Blood pump stop, ujun VBL diklem.
7.         Jarum outlet dicabut, bekas punksi inlet & outlet ditekan dengan kassa steril yang diberi bethadine
8.         Bila perdarahan pada punksi sudah berhenti, bubuhi bekas punksi inlet & outlet dengan antibiotik powder, lalu tutup dengan kain kassa/band aid lalu pasang verband.
9.         Ukur TTV : TD. N, S, P
10.     Timbang BB (kalau memungkinkan)
11.     Isi formulir hemodialisis

 Dialisis Peritoneal


Dialisis peritonium merupakan suatu alternatif dialisis yang menarik  cairan dan substrat dari dalam sirkulasi dengan menggunakan membran peritonium sebagai membran dialisis endogen.
Peritoneal dialysis adalah suatu proses dialysis di dalam rongga perut yang bekerja sebagai penampung cairan dialysis, dan peritoneum sebagai membrane semi permeable yang berfungsi sebagai tempat yang dilewati cairan tubuh yang berlebihan & solute yang berisi racun yang akan dibuang.Anatomi Membran Peritoneum Rongga Peritoneum Rongga peritoneum adalah bagian dari perut yang membungkus organ-organ, seperti lambung, ginjal, usus, dan lain - lain.
Di dalam rongga peritoneum ini terdapat banyak sel-sel darah kecil (kapiler) yang berada pada satu sisi dari membran peritoneum dan cairan dialysis pada sisi yang lain. Rongga peritoneum berisi + 100ml cairan yang berfungsi untuk lubrikasi / pelicin dari membran peritoneum. Pada orang dewasa normal, rongga peritoneum dapan mentoleransi cairan > 2 liter tanpa menimbulkan gangguan.
 Dialisis peritoneal yang disebut dialisis peritoneum ambulator berlanjut (continuin ambulatory peritoneal dialis, CAPD) dapat dilakukan dirumah dengan bantuan kateter permanen yang dipasang menembus dinding perut. Kateter dialisis ini dipasang dengan laparatomi terbuka maupun pembedahan endoskopik. Biasanya dipakai kateter  Tenckhoff yang merupakan kateter silikon yang lurus atau bengkok dengan dua mainset untuk fiksasi di dinding perut dan melingkar pada ujungnya. Dapat dilakukannya dialisis peritoneal mandiri dirumah dengan melakukan pembilasan menggunakan larutan elektrolit khusus steril melalui kateter dialisis, merupakan keuntungan dialisis peritoneum dibandingakan dengan hemodialisis. Kadar ureum, kreatinin, natrium dan kalium dalam serum relatif stabil karena prosedur ini dapat dilakuka setiap hari di rumah oleh pasien sendiri.
Tidak boleh terjadi rasa nyeri yang hebat selama peritoneal dialise berlangsung. Rasa nyeri sedang akan terasa bila cairan  dimasukan dan dikeluarkan dari rongga peritoneum. Procaine hidrocloride suka dimasukan bersama – sama dialisat sebagai usaha untuk mengurangi ketidaknyamanan terhadap pasien. Analgesic ringan dapat diberikan interval waktu 3 sampai 4 jam selama dialise.

 Etiologi
Adapun penyebab dilakukan tindakan hemodialisis dan dialysis peritoneal :
1.         Pembuangan cairan yang berlebihan, toksin atau obat karena tidak adekuatnya gradient osmotic dialisat
2.         Kehilangan darah aktual (heparinisasi sitemik atau pemutusan aliran darah)
3.         Distensi abdomen atau konstipasi
4.         Penurunan area ventilasi dimana bunyi nafas adventisius menunjukkan kelebihan cairan, tertahannya sekresi dan infeksi. dimana bunyi nafas adventisius menunjukkan kelebihan cairan, tertahannya sekresi dan infeksi.
5.         Penggunaan dialisat hipertonik dengan pembuangan cairan yang berlebihan dari volume sirkulasi.

Indikasi dan Kontra Indikasi Dialisis Peritonial
Indikasi
1.        Kelainan fungsi otak karena keracunan ureum (ensepalopati uremik)
2.        Gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit misal: asidosis metabolik, hiperkalemia dan hipercalsemia
3.        Kelebihan cairan (volume overload) yang memasuki paru-paru sehingga menimbulkan sesak nafas berat
4.        Gejala-gejala keracunan ureum (uremic symptoms)

Kontra Indikasi
1.        Hilangnya fungsi membran peritoneum
2.        Operasi berulang pada abdomen, kolostomi,
3.        Ukuran tubuh yang besar (kemungkinan dengan PD yang adekuat tidak tercapai)
4.        Identifikasi problem yang potensial timbul sebelum CAPD dimulai :
a.         Apakah pasien perlu seorang asisten (keterbatasan fisik / mental)
b.         Adakah hernia
c.         Penglihatan kurang
5.        Malnutrisi yang berat

 Macam – macam Dialisis Peritonial
1.        Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
       Memungkinkan pasien untuk menangani prosedur dirumah dengan kantung dan aliran gravitasi, memerlukan waktu lama pada malam hari, dan total 3-5 siklus harian/ 7 hari seminggu.
2.        Automated Peritoneal Dialysis (APD)
       APD sama dengan CAPD dalam melanjutkan proses dialysis tetapi berbeda pada tambahan mesin siklus peritoneal. APD dapat dilanjutkan dengan siklus CCPD, IPD dan NPD.
3.        Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD)
       CCPD merupakan variasi dari CAPD dimana suatu mesin siklus secara otomatis melakukan pertukaran beberapa kali dalam semalam dan satu siklus tambahan pada pagi harinya. Di siang hari, dialisat tetap berada dalam abdomen sebagai satu siklus panjang.
4.        Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD)
       IPD bukan merupakan lanjutan prosedur dialisat seperti CAPD dan CCPD. Dialysis ini dilakukan selama 10-14 jam, 3 atau 4 jam kali per minggu, dengan menggunakan mesin siklus dialysis yang sama pada CCPD. Pada pasien hospitalisasi memerlukan dialysis 24-48 jam kali jika katabolis dan memerlukan tambahan waktu dialisat.
5.        Nightly Peritoneal Dialysis (NPD)
       Dilakukan mulai dari 8-12 jam misalnya dari malam hingga siang hari.

Teknik Dialisis Peritonial
Ada beberapa teknik yang digunakan dalam dialisa peritoneal:
1.        Dialisa peritoneal intermiten manual.
Merupakan teknik yang paling sederhana. Sebuah kantong berisi cairan dipanaskan sesuai suhu tubuh, lalu cairan dimasukkan ke dalam rongga peritoneum selama 10 menit dan dibiarkan selama 60-90 menit, kemudian dikeluarkan dalam waktu 10-20 menit. Keseluruhan prosedur memerlukan waktu sekitar 12 jam. Teknik ini terutama digunakan untuk mengobati gagal ginjal akut.
2.        Dialisa peritoneal intermiten dengan pemutar otomatis.
Bisa dilakukan di rumah penderita. Suatu alat dengan pengatur waktu secara ototmatis memompa cairan ke dalam dan keluar dari rongga peritoneum. Biasanya alat pemutar dipasang pada waktu tidur sehingga pengobatan dijalani pada saat penderita tidur. Pengobatan ini harus dilakukan selama 6-7 malam/minggu.
3.        Dialisa peritoneal berpindah-pindah yang berkesinambungan.
Cairan dibiarkan di dalam perut dalam waktu yang lama, dan dikeluarkan serta dimasukkan lagi sebanyak 4-5 kali/hari. Cairan dikemas dalam kantong polivinil klorida yang dapat dikembangkempiskan. Jika kosong, kantong ini bisa dilipat tanpa harus melepaskannya dari selang. Biasanya cairan harus diganti sebanyak 3 kali, dengan selang waktu 4 jam atau lebih. Setiap pergantian memerlukan waktu 30-45 menit.
4.        Dialisa peritoneal yang dibantu oleh pemutar secara terus menerus.
Teknik ini menggunakan pemutar otomatis untuk menjalankan pergantian singkat selama tidur malam, sedangkan pergantian yang lebih lama dilakukan tanpa pemutar pada siang hari. Teknik ini mengurangi jumlah pergantian di siang hari tetapi pada malam hari penderita tidak dapat bergerak secara leluasa karena alatnya tidak praktis.

 Komplikasi
Komplikasi utama prosedur ini adalah peritonistis bakterial. Penyulit yang juga dapat ditemukan ialah malposisi kateter ke kavum douglas pelvis sehingga keluar masuknya cairan terganggu, terjadi kebocoran dari rongga perut melalui samping kateter, terjadi obstruksi karena fibrin, terjadinya hernia yang terus membesar karena dialisis terus dilakukan sehingga memerlukan pembedahan, serta menimbulkan infeksi pintu di dinding perut yang dapat meluas menjadi peritonitis eksogen. Biasanya peritonitis eksogen merupakan peritonitis kronik yang dapat diatasi dengan antibiotik. Kadang kateter harus dikeluarkan agar peritonitis bisa sembuh ;  sementara itu pasien menjalani hemodialisis. Peritonitis endogen yang berasal dari dalam perut misalnya dari apendiks atau divertikulum memerlukan laparatomi segera untuk apendiktomi atau divertikulektomi. Terjadinya peritonitis berulang akan menyebabkan jaringan parut pada peritonium sehingga menurunkan efektifitas peritoneum sebagai membran dialisis.



Penatalaksanaan Penatalaksanaan Pasien yang Menjalani Dialisis Peritoneal
1.    Persiapan
Proses persiapan pasien dan keluarganya yang dilaksanakan oleh perawat adalah penjelasan prosedur dialysis peritoneal, surat persetujan (Informed Consent) yang sudah ditandatangani, data dasar mengenai tanda-tanda vital, berat badan dan kadar elektrolit serum, pengosongan kandung kemih dan usus. Selain itu perawat juga mengkaji kecemasan pasien dan memberikan dukungan serta petunjuk mengenai prosedur yang akan dilakukan.
2.    Peralatan
Perawat harus berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan konsentrasi dialisat yang akan digunakan dan obat-obatan yang akan ditambahkan, misalnya dalam penambahan heparin untuk mencegah pembekuan fibrin yang dapat menyumbat kateter peritoneal, penambahan antibiotic untuk mengobati peritonitis.
Sebelum penambahan obat, larutan dialisat dihangatkan hingga mencapai suhu tubuh untuk mencegah gangguan rasa nyaman, nyeri abdomen, serta menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh darah peritoneum. Sebelum dialysis dilakukan, peralatan dan selang dirakit. Selang tersebut diisi dengan cairan dialisat untuk mengurangi jumlah udara yang masuk kedalam kateter serta kavum peritoneal.
3.        Pemasangan Kateter
Kateter peritoneal dipasang di dalam kamar operasi untuk mempertahankan asepsis operasi dan memperkecil resiko kontaminasi. Kateter stylet dapat digunakan jika dialysis peritoneal tersebut diperkirakan akan dilaksanakan dalam waktu singkat. Sebelum prosedur pemasangan kateter dilakukan, kulit abdomen dipersiapkan dengan larutan antiseptic local dan dokter melakuan penyuntikan infiltrasi preparat anastesi local kedalam kulit dan jaringan subcutan. Insisi kecil atau sebuah tusukan dibuat pada 3-5 cm dibawah umbilicus.
Sebuah trokar (alat berujung tajam) digunakan untuk menusuk peritoneum sementara pada pasien mengencangkan otot abdomennya dengan cara mengangkat kepalanya. Kateter disisipkan lewat trokar dan kemudian diatur posisinya. Cairan dialsat yang dipersiapkan diinfuskan kedalam kavum peritoneal dengan mendorong omentum (lapisan peritoneal yang membentang dari organ-organ abdomen) menjauhi kateter. Sebuah jahitan purse-string dapat dibuat untuk mengikat kateter pada tempatnya.
4.        Prosedur
Untuk dialisat peritoneal intermiten, larutan dialisat dialirkan dengan bebas kedalam kavum peritoneal dan dibiarkan selama waktu retensi (dwell time) atau waktu ekuilibrasi yang ditentukan dokter. Waktu itu berfungsi untuk memungkinkan terjadinya difusi dan osmosis.
Poda waktu akhir retensi, klem selang drainase dilepas dan larutan dialisat dibiarkan mengalir keluar dari kavum peritoneal melalui sebuah sistem yang tertutup dengan bantuan gaya berat. Cairan drainase biasanya berwarna seperti jerami atau tidak berwarna. Cairan dari botol yang baru kemudian ditambahkan, diinfusikan dan dialirkan keluar. Jumlah siklus atau pertukaran dan frekuensinya ditentukan oleh dokter sesuai kondisi fisik pasien serta kondisi akut penyakit.

 Asuhan Keperawatan Pasien Hemodialisis
Pengkajian
1)      Identitas klien
Nama, umur, alamat, pekerjaan, nama pennaggung jawab dan lain -lain
2)      Riwayat penyakit
Riwayat kesehatan umum : Gangguan /penyakit yang lalu, berhubungan dengan penyakit  sekarang (contoh DM, Hipertensi)
Riwayat kesehatan sekarang : keluhan/gangguan  yang berhubungan dengan penyakit saat ini. Seperti; mendadak, nyeri abdomen, Pinggang, edema.
3)      Pemeriksaan fisik
Kesadaran : composmentis
Tanda – tanda Vital :
TD 130/80 mmhg, suhu 37oc, nadi 80x/menit, RR 24 x/menit
a.      Aktivitas/istirahat
Gejala: Kelemahan/malaise, kelelahan estrem,
Tanda: Kelemahan otot, kehilangan tonus otot, penurunan rentang gerak
b.      Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi lama/berat
Tanda: Hipertensi, pucat,edema 
c.      Eliminasi
Gejala: Penurunan frekuensi urine, perubahan pola berkemih (oliguri), anuria
Tanda: Perubahan warna urine (kuning pekat, merah)
d.     Makanan/cairan
Gejala: Peningkatan BB (edema), anoreksia, mual,muntah
Tanda: Distensi abdomen/asites, Penurunan haluaran urine
e.      Pernafasan
Gejala: Nafas pendek, dispnea noktural paroksismal
Tanda: Takipnea, dispnea, peningkatan frekwensi, kedalaman (pernafasan kusmaul)
f.       Nyeri/kenyamanan
Gejala: nyeri pinggang, sakit kepala, keram otot/nyeri kaki
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah

4)      Pemeriksaan penunjang
LED 1 jam 2mm/jam                                  Lk: 0-15mm/jam
LED 2 jam 2mm/jam                                  P: 0-20mm/jam
Glukosa sewaktu    : 80 mg/100ml             Normal            70-115
Ureum                    : 31,6 mg/100ml          Normal            10-50
Creatinin                 : 0,81                           Normal            0,6-0,11
Cholesterol total     : 112                            Normal            150-220
Trigliserid               : 88                              Normal            150
Protein total            : 6,70                           Normal            6,3-8,0
SGOT                     : 4,05                           Normal            37
SGPT                      : 16 unit/L                   Normal            42
Urid acid                : 4,90 mg/100 ml         Normal            5,5-7,0
             
Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Pre HD
1)   Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang familier dengan sumber informasi.
Intervensi :
a.         Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang fungsi ginjal dan alasan dialysis.
b.        Kaji kesiapan untuk belajar.
c.         Berikan informasi yang sesuai untuk kesiapan dan kemampuan belajar termasuk alasan pasien kehilangan fungsi ginjal: tanda dan gejala yang berhubungan dengan kehilangan fungsi ginjal.
d.        Berikan dorongan untuk mengungkapkan perasaan takut dan ansietas.
Intra HD
1)   Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelemahan proses pengaturan
Intervensi : 
a.         Catat intake & output cairan, termasuk cairan tersembunyi seperti aditif antibiotic, ukur IWL.
b.        Kaji patensi kateter
c.         Monitor denyut jantung, tekanan darah, CVP
d.        kolaborasi :
Awasi Na dan Kreatinin Urine Na serum, Kalium serum Hb/ Ht
Rongent Dada
Berikan Obat sesuai indikasi : Furosemid, Manitol; Antihipertensi : Klonidin, Metildopa
Siapkan untuk dialisa sesuai indikasi
2)   Ketidakberdayaan berhubungan dengan perasaan kurang kontrol, ketergantungan pada dialysis, sifat kronis penyakit.
Intervensi :
a.         Mendiskusikan perasaan pasien, meyakinkan bahwa perasaan tersebut
normal.
b.        Beri dukungan pasien dan keluarga.
c.         Bantu pasien untuk tetap terorientasi terhadap realitas, untuk tetap optimis bahwa fungsi ginjal akan pulih normal bila keadaannya memungkinkan.
Post HD
1)   Resiko cedera berhubungan dengan akses vaskuler dan komplikasi sekunder terhadap penusukan. dan pemeliharaan akses vascular, emboli udara,ketidaktepatan konsentarsi / suhu dialisat.
Intervensi :
a.         Mempertahankan lingkungan steril selama pemasukan kateter.
b.        Melakukan radiografi dada setelah pemasukan kateter kevena subklavia.
c.         Amati tanda pneumothorak, ketidakteraturan jantung, perdarahan hebat, dan periksa bunyi nafas bilateral.
d.        Ganti balutan kateter secara rutin sesuai kebijakan unit.
e.         Pastikan bahwa detektor udara telah terpasang dan berfungsi baik selama dialisis.


Malpraktek Dialysis
Malpraktik berasal dari kata “mal” yang berarti buruk dan dan kata praktik yang berarti tindakan. Secara harafiah malpraktik adalah suatu tindakan atau praktik yang buruk. Dengan kata lain malpraktik adalah kelalaian kaum profesi yang terjadi sewaktu melaksanakan profesinya. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa antara kelalaian dokter dengan malpraktik sangat dekat kaitannya. Seorang dianggap lalai, apabila ia bertindak kurang hati-hati, sembrono, acuh terhadap kepentingan orang lain, walaupun tidak dilakukan dengan sengaja dan akibat itu tidak dikehendakinya. Kalau unsur kelalaian itu dijadikan alasan untuk mengadukan dokter ke pengadilan, maka terjadi apa yang disebut “tuduhan malpraktik”. Tetapi bila kelalaian itu tidak diajukan ke Pengadilan, maka tidak terjadi kasus (tuduhan) malpraktik dalam pengertian bahwa peristiwa itu tidak diproses secara hukum.

untuk ketentuan peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia sila klik link dibawah ini :

http://dinkes.jogjaprov.go.id/files/PMK_No._812_ttg_Pelayanan_Dialisis_Pada_Fasilitas_Kesehatan_.pdf

tugas sistem perkemihanII by kelompok 1 ;
1.     Adi Oktavianus         (101.0003)
2.     Diana Yuli                 (101.0023)
3.     Henny E                    (101.0049)
4.     M. Faris S                 (101.0073)
5.     Nuril Fadlila             (101.0083)
6.     Ucik Fitri                  (101.0109)
S1-4A STIKES HANG TUAH SURABAYA

Currently have 0 komentar:


Leave a Reply