Selasa, 15 Oktober 2013

Kelompok 7 Nefrosklerosis

Posted by Sistem Perkemihan 2 | Selasa, 15 Oktober 2013 | Category: |



MAKALAH KEPERAWATAN SISTEM PERKEMIHAN II
“PENATALAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN NEFROSKLEROSIS”






Oleh:
Kelompok 7

1.      Cyntya Putri I.                                (101.0017)
2.      Elly Elvira                                       (101.0035)
3.      Jeffry Chairdiansyah                      (101.0055)
4.      Najmi Layalia                                 (101.0075)
5.      Rinda Mustika N.                           (101.0095)
6.      Rizky Amelia                                  (101.0099)


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2013

















BAB 1
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Hipertensi merupakan faktor resiko utama bagi terjadinya serangan penyakit pembuluh darah lainnya. Namun sebagian besar masyarakat belum menyadari bahwa hipertensi juga memiliki kaitan erat dengan kesehatan ginjal. Penyakit ginjal merupakan masalah kesehatan  masyarakat di seluruh dunia.
Saat ini hipertensi diderita oleh lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia. Sekitar 10-30% penduduk dewasa di hampir semua negara mengalami hipertensi. Dari 4.000 penderita hipertensi, sekitar 17 persen di antaranya juga menyumbang penyakit gagal ginjal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurlaili Farida Muhajir 2010, seseorang dengan hipertensi mempunyai kemungkinan untuk sakit Gagal Ginjal Kronik 16,000 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak hipertensi.Untuk penyakit ginjal kronik, peningkatan terjadi sekitar 2-3 kali lipat dari tahun sebelumnya.
Penyakit ginjal yang disebabkan karena hipertensi disebut nefrosklerosis hipertensi adalah penyakit ginjal yang disebabkan karena terjadinya kerusakan vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah akut maupun kronik. Nefropati hipertensi terbagi menjadi dua yakni nefropati hipertensi benigna (Neproskelerosis benigna) dan nefropati hipertensi maligna (nefrosklerosis maligna).
Untuk memperlambat progresifitas kerusakan ginjal akibat hipertensi, penatalaksanaan perlu dilakukan dengan cermat. Pemakaian obat antihipertensi, disamping untuk memperkecil risiko kardiovaskuler juga sangat penting memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
                                                                                                
1.2  Tujuan
1.2.1   Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan proses pembelajaran mahasiswa diharapkan mampu mempraktekkan pengelolaan pelayanan keperawatan secara profesional dan mahasiswa dapat menerapkan konsep dasar dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien khususnya pada kasus Nefrosklerosis.
1.2.2   Tujuan Khusus
1)        Mengetahui konsep dasar Nefrosklerosis
2)        Mengetahui asuhan keperawatan pada Nefrosklerosis
3)        Memahami dan mengetahui malpratek/dilematik yang terjadi pada kasus Nefrosklerosis
4)        Memahami dan mengetahui masalah penelitian pada kasus Nefrosklerosis

1.3    Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini diharapkan nantinya mahasiswa mampu memahami dan mengerti tentang konsep dasar dari penyakit Nefrosklerosis beserta bagaimana Asuhan keperawatan yang sesuai pada klien dengan penyakit Nefrosklerosis.










BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana dijumpai tekanan darah lebih dari140/90mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan darah mencapai 160/95mmHg untuk usia diatas 50 tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih memastikan keadaan tersebut (WHO, 2001).
Hipertensi dapat diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan darahnya diatas 140/90mmHg. Pada manula hipertensi disefinisikan sebagai tekanan sistoliknya 160mmHg dan tekanan diastoliknya 90 mmHg(Brunner dan Suddart,2002).
Hipertensi adalah suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatanya resiko terhadap stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal (Faqih, 2006).
Hipertensi adalah keadaan dimana tekanan arteri rata-rata lebih tinggi daripada batas atas yang dianggap normal yaitu 140/90 mmHg (Guyton dan Hall, 2001). Hipertensi  dapat didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg (Sylvia Price, 2005).
Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik lebih dari 140/90 mmHg, dimana sudah dilakukan tekanan darah minimal dua kali untuk memastikan keadaan hipertensi tersebut. Hipertensi dapat menimbulkan resiko terhadap penyakit stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal.

2.2    Defenisi Nefrosklerosis
Secara sederhana, nefrosklerosis diartikan sebagai pengerasan ginjal. Kata ini diperkenalkan oleh Theodor Fahr lebih dari satu abad yang lalu. Secara terminologi, nefrosklerosis hipertensif diartikan sebagai nefrosklerosis benigna, dengan ditemukannya kerusakan pada arteriola arkuata, interlobular, serta arteriola aferen dan eferen. Gambaran histopatologi ditandai adanya hialinoisis arteriolar dan hipertrofi otot vaskular.
Nefrosklerosis adalah pengerasan atau sklerosis arteri ginjal akibat hipertensi yang lama.Penyakit ini menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan bercak nekrosis parenkim renal. Kadang-kadang terjadi fibrosis dan  kerusakan glomerulus.
Istilah nefrosklerosis hipertensif sebenarnya telah lama digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya riwayat hipertensi esensial lama, retinopati hipertensi, hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria minimal, dan insufi siensi renal yang progresif.
Nefrosklerosis hipertensi adalah penyakit ginjal yang disebabkan karena terjadinya kerusakan vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah. Nefrosklerosis yang terjadi akibat hipertensi (nefrosklerosis hipertensive) terbagi menjadi dua yakni Neproskelerosis benigna dan nefrosklerosis maligna.

2.3    Etiologi
Nefrosklerosis maligna merupakan suatu keadaan yang lebih berat, yang terjadi bersamaan dengan hipertensi maligna. Hipertensi maligna paling sering terjadi akibat tekanan darah tinggi yang tidak terkendali, tetapi juga bisa terjadi akibat :
-       Glomerulonefritis
-       Gagal ginjal kronis
-       Penyempitan arteri renalis (hipertensi vaskuler renalis)
-       Peradangan pembuluh darah ginjal (vaskulitis renalis)
Nefrosklerosis benigna biasanya ditemukan pada dewasa lanjut. Penyebabnya dikarenakan nefrosklerosis benigna ini sering dihubungkan dengan arterisklerosis/usia tua dan hipertensi
2.4    Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Nefrosklerosis
Terdapat dua bentuk nefrosklerosis :
a.      Nefrosklerosis maligna
Nefrosklerosis ganas terjadi pada hipertensi maligna. Komplikasi ini terjadi pada sekitar 5% pasien hipertensi. Sering dihubungkan dengan hipertensi maligna (tekanan darah diastolik > 130 mm Hg). Hal ini biasanya terjadi pada dewasa muda,dan pria terkena dua kali lipat lebih sering dari pada wanita. Proses penyakit berkembang cepat dan lebih dari 50% pasien meninggal akibat uremia dalam beberapa tahun.
Ginjal berukuran normal atau sedikit membesar dan mempunyai permukaan yang licin dengan banyak perdarahan petekia kecil. Secara mikroskopis, terdapat nekrosis fibrinoid (nekrosis fibrinoid tampak sebagai bahan granular merah muda yang tampak dengan imunofluoresen) arteriol dan glomerulus. Arteri interlobus memperlihatkan proliferasi selular intimal dan fibrosis yang berlapis-lapis (kulit bawang). Penyempitan lumen menyebabkan iskemia.
Secara klinis, nefrosklerosis ganas bermanifestasi sebagai proteinuria dan hematuria,yang kemudian dengan cepat diikuti oleh gagal ginjal akut. Tanpa pengobatan, 90% pasien meninggal dalam satu tahun. Dengan pengobatan anti hipertensi modern, lebih dari 60% pasien dapat bertahan hidup selama 5 tahun setelah diagnosis.
b.      Nefrosklerosis benigna
Neproskelerosis benigna adalah kerusakan vaskularisasi pada ginjal yang disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang menetap (hipertensi stage 2) baik primer maupun sekunder dalam kurun waktu lebih dari 3 bulan dengan LFG < 60 mL/menit/1,73m2 .
Nefrosklerosis jinak terjadi pada sebagian besar pasien hipertensi esensial. Perubahan serupa tampak pada autopsi pasien usia lanjut tanpa hipertensi, akibat proses penuaan. Terdapat pengurangan ukuran ginjal yang simetris bilateral. Permukaan ginjal bergranular merata halus dan terjadi penipisan yang seragam pada korteks ginjal. Secara mikroskopis, terdapat penebalan hialin dinding arteri kecil dan arteriol (penyempitan lumen pembuluh darah ini menyebabkan iskemia glomerulus kronis), sklerosis global pada glomerulus, dan atrofi nefron dengan fibrosis intertisial. Dengan imunofloresensi dan mikroskop elektron tidak tampak adanya bukti deposit imun. Perubahan nefrosklerosis jinak biasanya ringan. Gagal ginjal kronis terjadi kurang dari 5% kasus.
Gejalanya pasien dengan nefrosklerosis benigna jarang mengeluh gejala renal, gejala yang muncul :
-            Proteinuria ringan
-            Nokturia
2.5    Patogenesis
Patogenesis NH (Nefrosklerosis Hipertensi) belum sepenuhnya dipahami. Ada banyak faktor yang berperan seperti mekanisme autoregulasi yang tidak adekuat sehingga tidak mampu mempertahankan homeostasis tubuloglomerular feedback dan tekanan Sintraglomerular, adanya iskemi glomerular, hemodinamik glomerular, dan peranan angiotensin II intraglomerular.
Hipertensi sendiri dapat merupakan penyebab progresivitas kerusakan fungsi ginjal atau juga sebaliknya, yakni dapat merupakan faktor penyebab sekunder PGK. Hubungan erat ini tampak jelas melalui evaluasi progresivitas penderita PGK; akan dijumpai perlambatan di kelompok dengan pencapaian target penurunan tekanan darah yang lebih rendah. Secara ringkas, patogenesis hipertensi menyebabkan kerusakan ginjal.
Mekanisme Autoregulasi Kapiler
A.     Glomerulus Normal
Tekanan glomerular dipengaruhi oleh tiga faktor yakni tekanan arteri rerata (mean arterial pressure – MAP) atau tekanan perfusi, dan resistensi relatif dari kedua arteriole yakni aferen dan eferen. Pada kondisi normal, tekanan darah sistemik yang mengalami peningkatan secara episodik ataupun kontinyu tidak berakibat banyak pada mikrovaskular glomerular. Hal ini karena adanya perlindungan oleh suatu mekanisme autoregulasi dengan vasokonstriksi arteriole aferen (preglomerular)untuk mempertahankan renal blod fl ow dan agar tekanan hidrostatik intraglomerular dalam keadaan relatif konstan. Respons awal terhadap peningkatan MAP adalah peningkatan resistensi arteriol aferen (RA) untuk mencegah diteruskannya tekanan sistemik yang tinggi ke dalam kapiler glomerula.

Gambar .autoregulasi glomerular ginjal yang sehat  A.Baseline B. Peningkatan tekanan perfusi

Resistensi arteriol eferen (RE) akan menurun dan menyebabkan dekompresi pada glomerulus. Hal ini berguna untuk membatasi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler glomerular (glomerular capillary hydraulic pressure – PGC) dan untuk mempertahankan aliran plasma renal (renal plasma fl ow) dalam kondisi konstan.
B.     Kegagalan Mekanisme Autoregulasi Kapiler Glomerulus pada Nefrosklerosis Hipertensif
Jika MAP berada sedikit di atas batas autoregulasi, yang terjadi adalah nefrosklerosis benigna, namun akselerasi peningkatan tekanan darah yang mendadak mengakibatkan terjadinya nefrosklerosis maligna. Pada hipertensi, mekanisme autoregulasi dan fungsi endotel dalam memproduksi nitric oxide (NO) yang masih normal dan intak terhadap shear stress akan mampu mempertahankan tekanan intraglomerular dalam keadaan normal sehingga penurunan fungsi ginjal menjadi sangat lambat. Kompensasi yang terjadi dari sisa-sisa glomerulus terjadi melalui mekanisme adaptasi yakni dengan meningkatkan laju filtrasi glomerulus. Resistensi arteriol baik pada aferen dan eferen akan mengalami penurunan yang akan menyebabkan peningkatan aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerular.
Pada kondisi ini, peningkatan tekanan MAP akan diteruskan langsung ke dalam kapiler glomerular mengakibatkan terjadinya hipertensi glomerular, peningkatan filtrasi protein, dan merangsang pelepasan sitokin dan growth factor yang akan menyebabkan jejas pada kapiler.
Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol aferen dan eferen yang telah menyempit akibat perubahan struktur mikrovaskuler. Kondisi ini akan menyebabkan iskemi glomerular dan mengaktivasi respons infl amasi. Hasilnya, akan terjadi pelepasan mediator infl amasi, endotelin, dan aktivasi angiotensin II (AII) intrarenal. Kondisi ini pada akhirnya akan mengaktivasi apoptosis, meningkatkan produksi matriks dan deposit pada mikrovaskular glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau nefrosklerosis
Gambar.  Mekanisme autoregulasi glomerular pada kerusakan ginjal A.Baseline B. Peningkatan tekanan perfusi

C.     Iskemia Glomerular
Pada hipertensi, nefron yang masih sehat akan melakukan kompensasi dengan melakukan vasodilatasi aferen diikuti peningkatan tekanan intraglomerular (hipertensi glomerular dan hiperfi ltrasi glomerular) disertai proteinuria masif, yang pada akhirnya akan menyebabkan nefrosklerosis hipertensif dan berujung pada PGKT. Struktur arteri aferen berubah, terjadi wrinkling collaps dan sklerosis global pada membran basal glomerulus sehingga arteriol menjadi tidak intak. Konsekuensi hipertensi kronik akan berakibat terjadinya jejas mikrovaskular, iskemia, dan hipertrofi kapiler glomerular.
Penyempitan arteri dan arteriol aferen berakibat aliran darah menuju glomerulus menjadi berkurang sehingga terjadi iskemia glomerular dan glomerulosklerosis. Iskemia glomerular menurunkan aliran plasma pasca glomerular yang akan memicu iskemia tubular, dan kemudian mengaktivasi endotelin, TGF-β yang mengakibatkan sklerosis glomerular, tubulointerstisial atau nefrosklerosis. Ringkasan patogenesis nefrosklerosis hipertensif dalam gambar di bawah ini.

2.6 Histopatologi
Gambaran histopatologi pada NH ditandai dengan adanya hialinosis arteriolar dan hipertrofi otot vaskular. Hialinosis diartikan sebagai lesi yang mengandung bahan aselular, tidak berstruktur, terdiri atas glikoprotein dan kadang-kadang meleburkan lipid. Secara umum, pada NH terjadi perubahan histologi vaskuler, glomerular dan tubulointerstitial. Perubahan vaskuler berupa hipertrofi medial dan penebalan fibroplastik intimal yang menyebabkan penyempitan lumen vaskuler arteri renalis dan arteriol glomerular, dan deposisi materi hialin pada dinding arteriol. Perubahan glomerular berupa fokal global dan fokal segmental sklerosis sedangkan perubahan pada tubulointerstitial berupa atrofi atau dilatasi tubulus.
Gambaran histopatologi NH pada bentuk benigna maupun maligna dikenal sebagai hiperplasia miointimal interlobular dan pembuluh arteriolar aferen, hialinisasi arteriosklerosis, pengerutan glomerulus dan berakhir dengan glomerulosklerosis global. Perubahan-perubahan ini terjadi akibat iskemia glomerular yang disebabkan oleh penyempitan arteriol aferen.
1) Hialinosis arteriol dan arteri interlobular dengan penebalan tunika media disebabkan oleh hipertrofi dan hiperplasia otot polos vaskular, material hialin akibat insudasi protein plasma pada dinding arteriolar, berwarna cerah pada pengecatan PAS. Besarnya insudasi protein plasma diikuti dengan penyempitan
lumen arteriol. Hialinosis arteriol aferen merupakan penanda kerusakan ginjal pada hipertensi esensial, deposit hialin ditemukan pada otot polos arteriol yang mengalami atrofi sehingga memengaruhi tekanan lumen arteriol dengan akibat permeabilitas endotel meningkat dan meningkatkan insudasi protein plasma.
2) Hipertrofi miointima (fi broplastic intimal thickening) pada pembuluh darah interlobular dan arteriol berakibat penyempitan lumen arteriolar dan arteria interlobaris, selanjutnya wrinkling collaps’ dari glomerular tuft dan glomerulosclerosis. Kerusakan mikrovaskular ditentukan oleh skor proliferasi miointima. Ditemukan penebalan fibroelastik dengan pembentukan jaringan ikat pada tunika media arteriol aferen. Penelitian morfometrik melaporkan bahwa NH akibat hipertensi esensial berkorelasi antara volume insterstitial, clearance
creatinine, dengan hiperplasi muscular arteriol, dan tidak berkorelasi dengan hialinosis arteriol atau oleh penebalan arteriol interlobar.
Gambar.Nefrosklerosis benigna menunjukkan adanya sklerosis glomerulus komplit (kiri atas): hanya bersisa dua glomerulus yang mengecil; perhatikan juga adanya atrofi tubular dan dilatasi dengan silinder hialin intratubular (gambar panah); perubahan-perubahan ini terjadi akibat iskemia yang disebabkan oleh penebalan arterial dan arteriolar (tidak ditunjukkan)
Gambar Proliferasi fi brointimal arteri arkuata (pewarnaan periodic acid Schiff , pembesaran 150X)

2.7    WOC

2.8    Diagnosa
Secara klinis, nefrosklerosis hipertensif ditandai dengan adanya riwayat hipertensi lama dengan retinopati hipertensif derajat I atau II, adanya hipertrofi ventrikel kiri jantung, sedimen urin normal dan proteinuria kurang dari 1 gram per 24 jam. Adanya PGK dengan nilai kreatinin > 1.8 mg/dL atau creatinine clearance <40 mL/menit/1,73m2 serta USG ginjal menunjukkan ginjal mengecil dan bentuk iregular dapat membantu mengarahkan ke diagnosis NH.
Secara klinik patologis, terdapat dua kelompok NH, yakni nefrosklerosis benigna dan nefrosklerosis maligna. Nefrosklerosis, nefrosklerosis benigna, dan penyakit ginjal hipertensif merupakan terminologi yang dipakai para klinisi bilamana kerusakan ginjal dianggap terjadi akibat hipertensi esensial.
Gambaran histopatologi meliputi perubahan mikrovaskular berupa hialinosis dinding pembuluh darah preglomerular, penebalan tunika intima dan duplikasi internal elastic lamina arkuata dan arteri interlobaris dan akhirnya berlanjut dengan kerusakan glomerulus berupa glomerulosklerosis, atrofi tubulus, dan fibrosis interstitialis. Bentuk lain adalah NH maligna, keadaan ini berkaitan dengan terjadinya akselerasi tekanan darah atau hipertensi maligna yang ditandai dengan terbentuknya nekrosis fibrinoid dan hiperplasia miointima yang bila tidak cepat diatasi akan berakibat kerusakan ginjal progresif. Nefrosklerosis maligna akhir-akhir ini makin berkurang dengan kemajuan pengelolaan obat-obat antihipertensi.
Biopsi ginjal merupakan kunci diagnosis NH. Peranan biopsi ginjal pada nefrosklerosis hipertensif serupa dengan kondisi pada nefropati diabetik. Biopsi ginjal hanya dilakukan pada keadaan tertentu saja yakni pada penderita yang tidak mengalami akselerasi hipertensi atau riwayat hipertensi yang lama disertai dengan kadar serum kreatinin kurang dari 2,5 mg/dL dan proteinuria lebih dari 1.500 mg per 24 jam meski ada juga yang menyebutkan proteinuria dapat kurang dari 500 mg/24 jam.

2.9    Penatalaksanaan
Peningkatan tekanan darah sudah terbukti mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Penurunan tekanan darah merupakan kunci utama dalam mencegah progresi penurunan fungsi ginjal pada NH. Namun yang sering menjadi pertanyaan adalah berapa target penurunan tekanan darah dan jenis obat apa yang terbaik.
Hingga saat ini, penatalaksanaan NH masih mengacu pada penelitian AASK (African American Study of Kidney Disease and Hypertension). AASK meneliti 1094 orang ras Afrika-Amerika yang hipertensi kronik dengan gangguan fungsi ginjal yang tidak dapat dijelaskan sebabnya serta adanya proteinuria ringan berkisar 500 – 600 mg per hari.
Digunakan tiga obat antihipertensi yaitu ramipril, metoprolol dan amlodipin. Target penurunan tekanan darah adalah 125/75 mmHg atau 140/90 mmHg. Sasaran primer pada akhir penelitian ini adalah perubahan LFG yakni saat pertama terjadi penurunan LFG 50% atau LFG 25 ml/menit/1.73 m2; saat terjadi gagal ginjal; atau saat kematian. Penelitian ini selama 4 tahun, didapatkan rerata penurunan tekanan darah tertinggi adalah 141/85 mmHg dan rerata penurunan tekanan darah terendah adalah 128/78 mmHg. Sasaran primer ternyata tidak berbeda bermakna pada kelompok dengan target 140/90 mmHg atau 125/75 mmHg. Hal ini menunjukkan bahwa target tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg tidak memberikan hasil lebih baik. Dari segi kelompok jenis obat, ramipril menunjukkan hasil sasaran primer yang lebih baik bermakna dibanding dengan metoprolol atau amlodipin.
Metoprolol sendiri tidak berbeda bermakna dengan amlodipin. Namun setelah 10 tahun penelitian, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara ketiga jenis antihipertensi maupun penurunan tekanan darah serendah mungkin terhadap progresi penurunan LFG.
Penelitian lain dalam skala lebih kecil dilakukan oleh Siewer-Delle dkk di Swedia. Diteliti 23 pasien pria dengan hipertensi primer baru dan 11 pasien pria dengan normotensi dengan usia yang sama. Antihipertensi yang dipakai adalah penyekat beta dan penambahan hidroklorotiazid jika diperlukan. LFG dinilai pada saat awal, saat 7 tahun dan saat 14 tahun. Setelah 7 tahun penelitian, ternyata didapatkan penurunan LFG dari 103 ml/menit/1.73m2 menjadi 84 ml/ menit/1.73m2 namun setelah itu tidak terjadi penurunan LFG sampai dengan tahun ke- 14. Selama 14 tahun penelitian, didapatkan rerata tekanan darah berkisar 139/88 mmHg.
Siewert menyimpulkan bahwa pada pasien Swedia (ras kulit putih), pengendalian hipertensi dengan obat konvensional dapat mencegah penurunan fungsi ginjal selama 14 tahun. Disimpulkan bahwa :
 (1) Target penurunan tekanan darah pada pasien dengan nefrosklerosis hipertensif adalah <140/90 mmHg dan,
 (2) Semua jenis antihipertensi menunjukkan hasil yang tidak berbeda dalam
mencegah progresi penurunan LFG.

2.10     Prognosis
Jika keadaan ini tidak diobati,sekitar 50% penderita meninggal dalam waktu 6 bulan dan sisanya meninggal dalam waktu 1 tahun. Sekitar 60% kematian terjadi akibat gagal ginjal, 20% karena gagal jantung, 20% karena stroke dan 1% karena serangan jantung (infark miokard).
Menurunkan tekanan darah dan mengobati gagal ginjal akan menurunkan angka kematian, terutama yang disebabkan oleh gagal ginjal, gagal jantung dan stroke.

2.11Pencegahan
Pengawasan tekanan darah secara ketat pada orang-oarang yang cenderung menderita hipetensi akan menurunkan resiko terjadinya nefrosklerosis. Disertai dengan diit rendah natrium.



























ASUHAN KEPERAWATAN
A.      Pengkajian
a.       Identitas  Klien
b.      Keluhan Utama                       :
            urine berwarna merah
c.       Riwayat Penyakit Sekarang    :
Pasien mengeluh, urine berwarna merah saat berkemih. Sebelumnya pasien juga, sering berkemih dimalam hari. Pasien memiliki penyakit hipertensi bertahun-tahun.
d.      Riwayat Penyakit Dahulu       :
Hipertensi lama (derajat I atau II)

B.     Pemeriksaan fisik
1.      Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat
Tanda :
-          Hipertensi, nadi kuat
-          Disritmia jantung.
2.      Eliminasi
Gejala : Penurunan frekuensi urin,nokturia, proteinuria.
Tanda :
-          Perubahan warna urin, kemerahan.

C.     Pemeriksaan Penunjang
-       USG ginjal menunjukkan ginjal mengecil dan bentuk iregular dapat membantu mengarahkan ke diagnosis NH.
-       Biopsi ginjal hanya dilakukan pada keadaan tertentu saja yakni pada penderita yang tidak mengalami akselerasi hipertensi atau riwayat hipertensi yang lama disertai dengan kadar serum kreatinin kurang dari 2,5 mg/dL dan proteinuria lebih dari 1.500 mg per 24 jam meski ada juga yang menyebutkan proteinuria dapat kurang dari 500 mg/24 jam.

D.    Diagnosa Keperawatan
1.         Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi pada srtuktur urinarius.
2.         Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

E.    Intervensi
1.         Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi pada srtuktur urinarius.
Tujuan    : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, Perubahan eliminasi urine dapat teratasi, dengan
Kriteria Hasil:
-          pola eliminasi membaik,
-          tidak terjadi gangguan berkemih.
No.
Intervensi
Rasional
1.
Awasi pemasukan dan pengeluaran karakteristik urin.
Memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi.
2.
Observasi perubahan status mental: perilaku atau tingkat kesadaran.
Akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada susunan saraf pusat
4.
Anjurkan klien untuk meningkatkan pemasukan cairan.
Peningkatan hidrasi membilas bakteri
5.
Informasikan kepada klien dan keluarga klien mengenai penyakit serta pengobatannya.
Untuk meningkatkan kepatuhan klien terhadap pengobatannya.
6.
Kolaborasi
Awasi pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin.
Pengawasan terhadap disfungsi ginjal.
2.        Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam, Pasien mengetahui tentang penyakitnya dengan
Kriteria HasilMenyatakan mengerti tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik, rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif.
No.
Intervensi
Rasional
1.
Kaji ulang proses penyakit dan harapan yang akan datang.
Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
2.
Berikan informasi tentang: sumber infeksi, tindakan untuk mencegah penyebaran, jelaskan pemberian antibiotik, pemeriksaan diagnostik: tujuan, gambaran singkat, persiapan yang dibutuhkan sebelum pemeriksaan, perawatan sebelum pemeriksaan, perawatan sesudah pemeriksaan.
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan membantu mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana terapeutik.
3.
Pastikan pasien atau orang terdekat telah menulis perjanjian untuk perawatan lanjut dan instruksi tertulis untuk perawatan sesudah pemeriksaan.
Instruksi verbal dapat dengan mudah untuk dilupakan.
4.
Instruksikan pasien untuk menggunakan obat yang diberikan, minum sebanyak kurang lebih delapan gelas per hari khususnya sari buah berri.
pasien sering menghentikan obat mereka, jika tanda-tanda penyakit mereda. Cairan menolong membilas ginjal. Asam piruvat dari sari buah berri membantu mempertahankan keadaan asam urin dan mencegah pertumbuhan bakteri.
5.
Berikan kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan masalah tentang rencana pengobatan.
Untuk mendeteksi isyarat indikatif kemungkinan ketidakpatuhan dan membantu mengembangkan penerimaan rencana terapeutik.










2.7 Malpraktek
A. Konsep Dasar Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menggunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance mutuellede los angelos, california, app.2d 1, 172 P.2d 359,1956).
Kelalaian adalah sikap kurang hati – hati menurut ukuran wajar. Karena tidak melakukan apa yang seorang dengan sikap hati – hati yang wajar akan melakukan, atau sebaliknya melakukan apa yang seorang dengan sikap hati – hati yang wajar tidak akan melakukan didalam situasi tersebut (Bost v. riley, hammon and catamba memorial hospital, 1979).
Kelalaian adalah suatu sikap – tindak yang oleh masyarakat dianggap menimbulkan bahaya secara tidak wajar dan diklasifikasikan demikian karena :
1.      Orang itu biasa membayangkan atau seharusnya membayangkan bahwa tindakan itu bisa mengakibatkan orang lain harus menanggung resiko, dan
2.      Bahwa sifat dari risiko itu sedemikian beratnya, sehingga seharusnya ia bertindak dengan cara yang lebih hati-hati (Keton : medacal negligence – the standard of care, 1980).
Kelalaian dirumuskan sebagai “sikap tindak yang jatuh di bawah standard yang ditentukan oleh hukum untuk perlindungan orang lain terhadap risiko cedera yang sewajarnya tidak harus terjadi.”
Untuk dapat menuntut penggantian karena kelalaian,maka penggugat harus dapat membuktikan adanya unsur-unsur tersebut di bawah ini:
1.      Bahwa adanya suatu kewajiban pada dokter terhadap pasien;
2.      Bahwa dokter itu telah melanggar standard pengobatan yang biasa dipakai;
3.      Bahwa penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti-rugi; dan,
4.      Bahwa secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan yang di bawah standard umum.
Dengan beberapa kecualian,beban untuk membuktikan adanya unsur-unsur tersebut dibebankan pada penggugat (Restatement (Second) of Torts,par.282 (1985).
Dalam arti kriminil, kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, karena sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat acuh-tak-acuh terhadap kemungkina timbulnya risiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati, sehingga bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminil oleh negara (R v. Bateman, 1925, 19 Criminal Appeal Reports 8. Akere v. The King, 1943, Appeal Case 225 (Privy Ccouncil).

B. Malpraktek Menurut Hukum
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1.    Criminal malpractice 
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
·      Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
·      Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
·      Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2.    Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat   melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau
korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3.      Administrative malpractice
Tenaga perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja,Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

Dalam hal tenaga perawatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice,harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga perawatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela.
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1.      Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a.                    Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan :
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.

b.               Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
                                      Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
2.      Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
Misalnya ada kasus saat tenaga perawatan akan mengganti/ memperbaiki kedudukan jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut . Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga perawatan, karena:
a. Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b. Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab perawat.
c. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.

C. Kode Etik Keperawatan
Kode etik merupakan persyaratan profesi yang memberikan penentuan dalam mempertahankan dan meningkatkan standar profesi. Kode etik menunjukan bahwa tanggung jawab terhadap kepercayaan masyarakat telah diterima oleh profesi(Kelly, 1987). Jika anggota profesi melakukan suatu pelanggaran terhadap kode etik tersebut, maka pihak organisasi berhak memberikan sanksi bahkan bisa mengeluarkan pihak tersebut dari organisasi tersebut. Dalam keperawatan kode etik tersebut bertujuan sebagai penghubung antara perawat dengan tenaga medis, klien, dan tenaga kesehatan lainnya, sehingga tercipta kolaborasi yang maksimal.
Perawat professional tentu saja memahami kode etik atau aturan yang harus dilakukan, sehingga dalam melakukan suatu tindakan keperawatan mampu berpikir kritis untuk memberikan pelayanan asuhan keperawatan sesuai prosedur yang benar tanpa ada kelalaian.
Fungsi Kode Etik Perawat                   
           Kode etik perawat yang berlaku saat ini  berfungsi sebagai landasan  atau pedoman bagi status perawat  profesional yaitu dengan cara:
  1. Menunjukkan kepada masyarakat bahwa perawat diharuskan memahami dan menerima kepercayaan dan tanggungjawab yang diberikan kepada perawat oleh masyarakat
  2. Menjadi pedoman bagi perawat dalam  berperilaku dan menjalin hubungan keprofesian sebagai landasan dalam penerapan praktek etikal
  3. Menetapkan hubungan-hubungan profesional yang harus dipatuhi yaitu hubungan perawat dengan pasien/klien sebagai advokator, perawat dengan tenaga profesional kesehatan lain sebagai teman sejawat, dengan profesi keperawatan sebagai seorang kontributor dan dengan masyarakat sebagai perwakilan dari asuhan kesehatan
  4. Memberikan sarana pengaturan diri sebagai profesi.

Kode Etik Keperawatan Indonesia
Dalam profesi perawat, seorang perawat harus mampu memahami dan menerapkan berbagai kode etik yang menjadi dasar mereka bertindak khususnya dalam tindakan asuhan keperawtan. Beberapa kode etik yang ada di Indonesia yang harus di miliki oleh seorang perawat professional yaitu:
  1.   Tanggungjawab Perawat terhadap Individu, Keluarga, dan Masyarakat
    1. Perawat berpedoman kepada tanggungjawab dari  kebutuhan akan keperawatan individu, keluarga dan masyarakat.
    2. Perawat memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat-istiadat, dan kelangsungan hidup beragama dari individu, keluarga, dan masyarakat.
    3. Perawat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan.
    4. Menjalin hubungan kerja sama dengan individu, keluarga, dan masyarakat dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya kesehatan.
    5. Tanggungjawab terhadap Tugas
      1. Memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga dan masyarakat.
      2. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
      3. Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan.
      4. Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
      5. Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan klien dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalihtugaskan tanggungjawab yang ada hubungannya dengan keperawatan.
6.      Tanggungjawab terhadap Sesama Perawat dan Profesi Kesehatan Lainnya.
    1. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik antara sesama perawat dan dengan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam memelihara kerahasiaan suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
    2. Perawat senantiasa menyebarluaskan pengetahuan, keterampilan, dan pengalamannya kepada sesama perawat serta menerima pengetahuan dan pengalaman dari profesi lain dalam rangka meningkatkan kemampuannya.
    3. Tanggungjawab terhadap Profesi Keperawatan
    4. Perawat senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan profesional secara mandiri dan bersama-sama dengan jalan menambah ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang bermanfaat bagi perkembangan keperawatan.
    5. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan menunjukkan perilaku dan sifat pribadi yang luhur.
    6. Perawat senantiasa berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkan dalam kegiatan dan pendidikan keperawatan.
    7. Perawat secara bersama-sama membina dan memelihara mutu organisasi profesi keperawatan sebagai sarana pengabdiannya.
      1.  Tanggungjawab terhadap Pemerintah, Bangsa, dan Negara
a.  Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan yang diharuskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.
b. Perawat senantiasa berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada masyarakat.
Secara umum, tujuan kode etik keperawatan adalah sebagai berikut (kozier, Erb. 1990) :
a)  Sebagai aturan dasar terhadap hubungan perawat dengan perawat, pasien, dan anggota tenaga  kesehatan lainnya.
b)  Sebagai standar dasar untuk mengeluarkan perawat jika terdapat perawat yang melakukan pelanggaran berkaitan kode etik dan untuk membantu perawat yang tertuduh  suatu permasalahan secara tidak adil.
c)  Sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan dan untuk mengorientasikan lulusan keperawatan  dalam memasuki jajaran praktik keperawatan profesional.
d) Membantu masyarakat dalam memahami perilaku keperawatan profesional.






D. Standar Etik dan Legal dalam Keperawatan
Setiap saat bekerja dan berhubungan dengan klien, rekan kerja, dan seluruh komunitas tentu saja perawat selalu dihadapkan dengan pengambilan keputusan dalam setiap tindakan yang dilakukan berkaitan dengan etika dan moral. Terdapat dua aturan yang harus ditaati oleh perawat professional dalam mengambil tindakan yaitu:
  1. Standar etik
Panduan perilaku moral yaitu seseorang yang memberikan layanan kesehatan harus bersedia secara sukarela dalam mengikuti standar etik.
2.      Hukum legal
Panduan berperilaku sesuai hukum yang sah. Jika aturan tersebut tidak dipatuhi maka perawat wajib menerima  tanggung gugatnya.

E. Perilaku Etik Dalam Tindakan Keperawatan Professional
Perilaku Etik
Dua perilaku etik yang harus dimiliki oleh perawat profesional yaitu:
  1. Etik yang Berorientasi pada Kewajiban
Dalam hal ini, pedoman perawat adalah apa saja yang harus wajib dilakukan dan kewajibannya dalam bertindak.
2.      Etik yang Berorientasi pada Larangan
Pedoman yang digunakan adalah apa saja yang dilarang yang tidak boleh dilakukan oleh perawat sesuai kewajiban dan kebajikan.



F. Asas Etik dalam Keperawatan
Terdapat enam asas etik dalam keperawatan yaitu:
  1. Asas menghormati otonomy klien( autonomy)
  2. Asas manfaat( beneficence)
  3. Asas tidak merugikan (non –maleficence)
  4. Asas kejujuran( veracity)
  5. Asas kerahasiaan ( confidentiality)
  6. Asas keadilan( justice)
  7. Autonomy yaitu klien memiliki hak untuk memutuskan sesuatu dalam pengambilan tindakan terhadapnya. Seorang perawat tidak boleh memaksakan suatu tindakan pengobatan kepada klien.
  8. Beneficence yaitu semua tindakan dan pengobatan harus bermanfaat bagi klien. Oleh karena itu, perlu kesadaran perawat dalam bertindak agar tindakannya dapat bermanfaat dalam menolong klien.
  9. Non- maleficence yaitu setiap tindakan harus berpedoman pada prinsip primum non nocere ( yang paling utama jangan merugikan). Resiko fisik, psikologis, dan sosial hendaknya diminimalisir semaksimal mungkin.
  10. Veracity yaitu dokter maupun perawat hendaknya mengatakan sejujur-jujurnya tentang apa yang dialami klien serta akibat yang akan dirasakan oleh klien. Informasi yang diberikan hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan klien agar klien mudah memahaminya.
  11. Confidentiality yaitu perawat maupun dokter harus mampu menjaga privasi klien meskipun klien telah meninggal dunia.
  12. Justice yaitu seorang perawat profesional maupun dokter harus mampu berlaku adil terhadap klien meskipun dari segi status sosial, fisik, budaya, dan lain sebagainya.



G. Tindakan Perawat  Profesional
Tindakan praktik keperawatan profesional adalah suatu  proses ketika perawat berkaitan langsung dengan klien dan dalam tindakan ini masalah klien dapat di identifikasi dan di atasi.
A.    Karakteristik  Perawat Profesional
  1. Otoriter yaitu memiliki kewenangan sesuai keahliannya yang akan mempengaruhi proses asuhan melalui peran profesional.
  2. Accountability yaitu tanggung gugat terhadap apa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan bertanggung jawab terhadap klien, diri sendiri, dan profesi serta mengambil keputusan sesuai dengan asuhan. Jika perawat profesional dalam melakukan tindakan atau praktik keperawatan tidak sesuai etik, maka kita dapat menyelesaikannya dengan:
a)      D= Define the problem
b)      E= Ethical review
c)      C= Consider the option
d)      I= Investigate outcome
e)      D= Decide on action
f)        E= Evaluate result
Contoh Kasus “Kasus Jari Bayi Tergunting” 
Seorang perawat tidak sengaja menggunting jari bayi. Dan konyolnya, perawat itu tidak meminta pertolongan dokter tetapi membuang jari tersebut ke bak sampah. Kejadian tersebut mungkin tidak akan segera diketahui jika tidak ada seorang staf RS  anak di Inggris salford yang melihat tangan bayi tersebut berdarah. Bayi tersebut baru berusia tiga minggu. Pencarian masih tetap dilakukan dan beruntung jari bayi tersebut masih ditemukan di bak sampah.  (Keterangan juru bicara rumah sakit Inggris Salford ).
Cara penyelesaian:
a)      Define the problem/ memperjelas masalah yaitu mengkaji prosedur keperawatan yang seharusnya dilakukan, dokumentasi keperawatan, serta rekam medis.
b)      Ethical review/ identifikasi komponen etik perawat harus mampu menggambarkan komponen-komponen etik  yang terlibat. Komponen etik dan hukum dalam masalah ini berkaitan dengan kelalaian dan malpraktik
c)      Identifikasi orang yang terlibat karena yang menjadi korban adalah bayi maka yang berhak memberikan sanksi adalah orang tua bayi. Sedangkan yang terlibat adalah perawat, staf rumah sakit dan dokter yang melihat tangan bayi tersebut berdarah.
d)     Identifikasi alternatif yang terlibat yaitu:
  1.  Menjelaskan dengan jalan damai dan kekeluargaan
  2.  Jika perawat tidak mau bertanggung jawab maka jalan terakhir adalah pengadilan hukum.
e)      Terapkan prinsip-prinsip etik yaitu nonmaleficence, beneficence, dan justice.
f)       Memutuskan tindakan yaitu pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip etik.




H. Masalah Legal Dalam Etik Keperawatan
Hukum dikeluarkan oleh badan  pemerintah dan harus dipatuhi oleh setiap warganya. Jika tidak mematuhi hukum  maka setiap orang akan terikat denda atau bahkan hukuman penjara. Namun secara hukum, kita tidak perlu takut akan terikat denda atau hukuman penjara jika :
  1. Hanya melakukan hal-hal yang diajarkan dan hanya ada pada cakupan pelatihan anda.
  2. Selalu memiliki keterampilan dan pengetahuan yang terbaru.
  3. Menempatkan keselamatan dan kesejahteraan pasien sebagai hal yang terpenting.
Bentuk  Kelalaian  Perawat dalam Melakukan Tindakan Asuhan Keperawatan
Pada dasarnya, bentuk kelalaian yang dilakukan perawat tersebut dapat diketahui dari hasil kerjanya. Untuk lebih jelasnya, 2 bentuk kelalaian tersebut adalah:
  1. Tidak melakukan pekerjaan maupun tindakan sesuai yang diharapkan, misalnya: pasien terbakar karena cairan enema yang disiapkan terlalu panas.
  2. Tidak melakukan tugas dengan hati-hati, misalnya: pasien terjatuh dan cedera karena perawat tidak memperhatikan penghalang tempat tidur klien. 
Contoh Pelanggaran Kode Ktik Perawat
Berbagai macam pelanggaran kode etik perawat yaitu:
  1. Tindakan Aborsi adalah menggugurkan kandungan
  2. Euthanasia adalah keinginan pasien untuk mati dengan bantuan tenaga medis, karena nyawa pasien tersebut akan mati beberapa waktu kemudian.
  3. Diskriminasi pasien HIV yaitu membedakan pasien terkena HIV
  4. Diskriminasi SARA yaitu membedakan pasien dari segi status, budaya,ras dan agama.
Kasus malpraktek

Wooten v. U.S.(D.C.Teen.1982)
Seorang Lansia, Tn.MOW (68 tahun), memiliki riwayat hipertensi. Saat itu, Tn. MOW telah dirawat di Rumah Sakit W, sejak 2 Minggu yang lalu. Tn. MOW di diagnosa, nefrosklerosis maligna. Tn. MOW sering mengeluh sakit kepala, gelisah, penglihatan kabur, dan terkadang disertai mual. Sejak masuk rumah sakit, keluarga Tn. MOW hanya berkunjung 2 kali dalam seminggu.
Suatu ketika Tn. MOW, ditemukan terjatuh di bawah tempat tidur, karena perawat lalai untuk memasang bedrails. Dari kejadian tersebut, Tn. MOW mengalami fraktur kepala dan kontusio serebral. Akibatnya pasien harus menjalani pembedahan otak. Pasien kemudian menderita kelumpuhan pada bagian tubuh sebelah kanan.
Pengadilan memutuskan bahwa rumah sakit harus mengganti kerugian sejumlah 80.000$. para perawat yang merawat mengatakan bahwa pada saat itu keadaan pasien sudah membaik oleh karena itu tidak perlu dipasang penghalang ranjang. Hakim mengatakan bahwa melihat usia dan keadaan fisik pasien dan pengobatan yang diberikan kepadanya, tidak memasang penghalang ranjang adalah kelalaian.









Opini Kelompok Berdasarkan Konsep Malpraktek dan Kode Etik
Malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menggunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance mutuellede los angelos, california, app.2d 1, 172 P.2d 359,1956).
Kelalaian dirumuskan sebagai “sikap tindak yang jatuh di bawah standard yang ditentukan oleh hukum untuk perlindungan orang lain terhadap risiko cedera yang sewajarnya tidak harus terjadi”(Restatement (Second) of Torts,par.282 (1985).
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.  Kasus di atas berkaitan dengan point pertama dalam yuridical malpractice, yaitu criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pada kasus tersebut, perawat lalai dalam memperhatikan keamanan dan keselamatan pasien. Padahal para perawat tahu mengenai kondisi pasien yang sebenarnya, bukan berarti karena pasien telah berada dalam kondisi baik, kita tidak perlu melakukan tindakan safety. Mengingat usia pasien dan penyakitnya, menurut kelompok kami, sangatlah penting tindakan pengamanan dengan memasang bedrails untuk mencegah kejadian-kejadian yang dapat merugikan pasien dan perawat itu sendiri. Sungguh sangat disayangkan, pasien yang semulanya ingin sembuh dari penyakitnya, justru menjadi semakin buruk keadaanya, dengan cacat yang didapat selama pelayanan, dikarenakan kelalaian tenaga kesehatan, dalam hal ini khususnya perawat.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan. Meskipun secara hukum pertanggung jawabannya bersifat individual/personal, masyarakat pasti juga akan beranggapan bahwa instansi kesehatan yang bersangkutan, kualitas pelayanannya meragukan, karena menyediakan SDM/ tenaga keperawatan yang kurang profesional dalam pemberian pelayanan kesehatan, sehingga merugikan pasiennya.
Pada dasarnya perawat professional tentu saja harus memahami kode etik atau aturan yang harus dilakukan, sehingga dalam melakukan suatu tindakan keperawatan mampu berpikir kritis untuk memberikan pelayanan asuhan keperawatan sesuai prosedur yang benar tanpa ada kelalaian, seperti pada kasus di atas. Jika perawat profesional dalam melakukan tindakan atau praktik keperawatan tidak sesuai etik, maka dapat diselesaikan dengan cara :
a)      Define the problem/ memperjelas masalah yaitu mengkaji prosedur keperawatan yang seharusnya dilakukan, dokumentasi keperawatan, serta rekam medis.
b)      Ethical review/ identifikasi komponen etik perawat harus mampu menggambarkan komponen-komponen etik  yang terlibat. Komponen etik dan hukum dalam masalah ini berkaitan dengan kelalaian dan malpraktik
c)      Identifikasi orang yang terlibat karena yang menjadi korban adalah bayi maka yang berhak memberikan sanksi adalah orang tua bayi. Sedangkan yang terlibat adalah perawat, staf rumah sakit dan dokter yang melihat tangan bayi tersebut berdarah.
d)     Identifikasi alternatif yang terlibat yaitu:
a.       Menjelaskan dengan jalan damai dan kekeluargaan
b.      Jika perawat tidak mau bertanggung jawab maka jalan terakhir adalah pengadilan hukum.
e)     Terapkan prinsip-prinsip etik yaitu nonmaleficence, beneficence, dan justice.
f)      Memutuskan tindakan yaitu pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip etik.
Oleh karena itu sebagai tindakan pencegahan dari hal-hal yang tidak diinginkan apalagi sampai merugikan pasien, hendaknya sebagai calon perawat maupun para perawat harus mampu memahami dengan baik dan benar tentang kode etik dan salah satu kuncinya yaitu banyak membaca dan memahami pentingnya keselamatan pasien sehingga keinginan untuk mempelajari kode etik sebagai landasan tindakan bisa lebih bermanfaat.





2.8               Masalah Penelitian
Judul Jurnal Penelitian : PERTIMBANGAN DAN ALASAN PASIEN HIPERTENSI MENJALANI  TERAPI ALTERNATIF KOMPLEMENTER BEKAM DI KABUPATEN BANYUMAS
Oleh : Ridlwan Kamaluddin (Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman)
ABSTRACT
Current trends in treatment of hypertension was use of complementary and alternative therapy (CA T).  Selection of treatment of hypertension is influenced by many factors such as culture, education, beliefs, religion and others. In Banyumas, there are several complementary  and alternative  therapies  clinics  and one of the most widely  used  therapies  by people  to treat hypertension was cupping therapy . The aim of this research will explore   considerations and reasons  for  hypertensive   patients  who  undergone  complementary   alternative  therapies; cupping   therapy .  This   study   used   descriptive   phenomenological   qualitative   design   of hypertensive patients who undergone cupping therapy . Data were obtained through in-depth interviews. Colaizzi method used in data analysis process. The theme of the first study was the decision-making process that includes social factors (family support, discussion with the family) and psychological  (believed  to  someone  else).  The  second  theme  was  the  reason for undergone cupping therapy such keep away from the side effects of drugs, affordable prices, the efficacy  of therapy  and  religious  teachings.  The reason   of hypertensive  patients  who undergone cupping therapy was very varied and unique. Researchers suggest the need for nurses as a cupping therapy practitioners and serve as one of the nursing services provided to the public.

Key words : considerations, reasons, hypertension, cupping therapy


PENDAHULUAN
Lebih dari seperempat jumlah populasi  dunia  saat  ini  menderita hipertensi.  Data  WHO  menyebutkan, jumlah penderita hipertensi di India tahun 2000 adalah 60,4 juta dan diperkirakan sebanyak   107,3  juta  pada   tahun   2025 (terjadi kenaikan sebesar 56%). Di Cina pada tahun 2000 sebanyak 98,5 juta orang menderita hipertensi dan tahun 2025 diperkirakan  menjadi 151,7 juta (kenaikan sebesar  65%).  Sedangkan  di bagian  lain Asia tercatat tahun 2000 sebesar 38,4 juta penderita  hipertensi  dan  tahun  2025 sebesar 67,3 juta (kenaikan sebesar 57%).
Data ini menunjukkan bahwa hipertensi masih menjadi ancaman bagi masyarakat dunia (Lazuardi, 2008). Di Indonesia banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka  cenderung  untuk  menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya, dan 90% merupakan  hipertensi esensial. Saat ini penyakit degeneratif dan kardiovaskuler sudah merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Ririn,2008). Terapi nonfarmakologis harus diberikan kepada semua pasien hipertensi primer dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor risiko serta penyakit penyerta lainnya (Sudoyo, Setiyohadi,  Alwi, Simadibrata, et.al 2006). Ketidakpatuhan pasien terhadap modifikasi gaya hidup yaitu konsumsi alkohol, pengendalian berat badan, termasuk pengendalian stres dan kecemasan merupakan salah satu penyebab terjadinya hipertensi resisten (Sudoyo,   Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, et.al 2006).
Terapi alternatif  komplementer adalah sebuah kelompok  dari bermacam- macam sistem pengobatan dan perawatan kesehatan,  praktek dan produk yang secara umum tidak menjadi bagian dari pengobatan   konvensional (National Institute of Health, 2005). Frekuensi dari pemanfaatan terapi alternatif komplementer meningkat pesat diseluruh pelosok dunia. Perkembangan tersebut tercatat dengan baik di afrika dan populasi secara global antara 20% sampai dengan 80%. Hal yang menarik dari terapi alternatif komplementer ini didasarkan pada asumsi dasar dan prinsip-prinsip sistem yang beroperasi (Amira &  Okubadejo,  2007). Terbukti bahwa pemanfaatan terapi alternatif komplementer mengalami peningkatan secara global, dan pengakuan diberikan oleh  penyedia asuransi kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan  obat modern  untuk  penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar, 2006).
Menurut  teori  Lawrence  yang dikutip Soekidjo Notoatmodjo (2003), kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu perilaku (behavior causes) dan faktor dari luar perilaku (Non-behavior causes), selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk 3 faktor,   yaitu:   Faktor   predisposisi   yaitu faktor yang mempermudah dan mendasari terjadinya perilaku tertentu yang terwujud dalam bentuk pengetahuan dari pendidikan formal, sikap, kepercayaan,   keyakinan, nilai-nilai dan budaya serta beberapa karakteristik individu yaitu : pengetahuan tentang terapi alternatif komplementer; Faktor pemungkin (Enabling factor) yaitu yang memungkinkan untuk terjadinya perilaku  tertentu  terbentuk  yang berwujud dalam lingkungan fisik dan ketersediaan fasilitas dan sarana kesehatan yaitu ketersediaan, ketercapaian fasilitas dan ketrampilan yang berkaitan dengan kesehatan; Faktor  pendorong (reinforcing factor) yaitu faktor yang memperkuat terjadinya perilaku tersebut yaitu mendapat dukungan dari keluarga/kerabat, teman, petugas kesehatan dan lain-lain.
Di Kabupaten Banyumas, penduduk paling banyak menganut agama Islam dan masyarakat masih sangat kental dengan  pengobatan  bernuansa  spiritual.
Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal dinegara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang   pada   saat  prevalensi   penyakit saat ini menggunakan terapi alternatif  dan komplementer, salah satunya yaitu menggunakan terapi bekam atau Hijamah. Hijamah sudah digunakan semenjak zaman     Rasulullah     Muhammad     SAW (Y asin,  2007).  Menurut  data  dari  Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, terdapat 90 tempat terapi alternatif komplementer yang ada di Kabupaten Banyumas. Dari pengamatan  lapangan  yang  telah dilakukan di salah satu tempat terapi alternatif komplementer di Kabupaten Banyumas, menunjukkan bahwa pasien yang paling banyak  mendapatkan menjalani terapi alternatif komplementer adalah pasien hipertensi.

METODE PENELITIAN
Penelitian  ini  menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk  memperoleh  informasi  yang mendalam tentang pendapat dan perasaan seseorang yang memungkinkan untuk mendapatkan   hal   –   hal   yang   tersirat tentang sikap, kepercayaan,  motivasi dan perilaku  individu  (Pollit,  Beck  &  Hungler,2001). Penelitian kualitatif mempelajari setiap masalah  dengan menempatkannya pada situasi alamiah dan memberikan makna atau mengintrepretasikan suatu fenomena   berdasarkan   hal  -  hal   yang berarti   bagi   manusia   (Creswell,   1998). Selain  itu  penelitian  kualitatif  juga merupakan penelitian yang mempercayai tidak ada realitas tunggal dalam kehidupan dan apa yang kita ketahui mempunyai banyak arti (Burns & Grove, 1999).
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah fenomenologi yaitu penelitian yang berfokus pada penemuan fakta mengenai pertimbangan  dan alasan pasien hipertensi menjalani terapi alternatif komplementer   bekam   yang   ditekankan pada usaha untuk memahami tingkah laku berdasarkan perspektif pasien yang mengalaminya. Fenomenologi merupakan suatu  metode  penelitian  yang  kritis  dan menggali fenomena yang ada secara sistematis  (Steubert  &  Carpenter,2003). Metode ini memahami individu dengan segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif, melihat manusia sebagai sistem yang berpola dan berkembang (Poerwandari, 2005).
Partisipan  atau  sampel  penelitian ini adalah pasien hipertensi yang menjalani terapi alternatif komplementer bekam. Jumlah partisipan pada penelitian ini sebanyak 6 partisipan. Teknik pengambilan sampel yang    digunakan adalah purposive sampling. Kriteria sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut : (1)  pasien  hipertensi  yang  sedang menjalani terapi alternatif komplementer bekam; (2) pasien yang terdiagnosa hipertensi oleh dokter (3) bersedia menjadi partisipan dalam penelitian yang dibuktikan dengan menandatangani surat pernyataan persetujuan penelitian; (4) mampu berkomunikasi  dengan baik. Penelitian  ini dilakukan di klinik terapi alternatif komplementer bekam yang menyelenggarakan pengobatan terhadap masalah  hipertensi, yaitu klinik An-Nahl dan Klinik Natura Syifa Purwokerto. Pengambilan  data  dilakukan  sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan partisipan. Dari keenam partisipan, tempat pengambilan data berada di rumah partisipan masing-masing sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Pengambilan data penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2010-Juni 2010.
Penelitian  ini  sangat  menjunjung kode etik penelitian dimana identitas informan   menggunakan  kode atau inisial saja. Pertimbangan etik meliputi aspek self determination, privacy dan dignity, anonimity, confidentiality  dan   protection from  discomfort  (Polit  &  Hungler,  2001).
Alat pengumpulan data yang digunakan adalah peneliti sendiri, pedoman wawancara, alat tulis, field notes dan MP3. Pada pengumpulan data dengan wawancara,  strategi  yang  digunakan adalah open  ended  interview dimana  hal ini merupakan hal yang utama dalam riset kualitatif karena memberikan kesempatan kepada partisipan untuk menjelaskan sepenuhnya  pengalaman  mereka (Robinson, 2000). Pengumpulan data tidak hanya dilakukan dengan wawancara, peneliti juga membuat   catatan   lapangan   (field   note) yang berisikan deskripsi tentang tanggal, waktu,  dan  informasi  dasar  tentang suasana  saat wawancara  seperti  tatanan lingkungan, interaksi sosial dan aktivitas yang berlangsung saat wawancara dilakukan.  Catatan  lapangan  pada penelitian kualitatif dibuat pada saat proses wawancara berlangsung dari masing- masing partisipan agar tidak terjadi kesalahan (Poerwandari,2005; Streubert & Carpenter, 1999). Proses analisis data dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan  data. Adapun  tahapan proses  analisis  data  menggunakan langkah-langkah    dari   Colaizzi (1978, dalam Streubert & Carpenter, 1999) adalah sebagai  berikut  : 
1.      Memiliki  gambaran yang jelas tentang fenomena yang diteliti, yaitu pertimbangan dan alasan pasien hipertensi yang menjalani terapi alternatif komplementer.
2.       Mencatat data yang diperoleh yaitu hasil wawancara dengan partisipan mengenai pertimbangan dan alasan pasien hipertensi yang menjalani terapi alternatif komplementer, transkripsi dilakukan dengan cara merubah dari rekaman suara menjadi bentuk tertulis secara     verbatim     dan    hasil    catatan lapangan yang dibuat selama proses wawancara terhadap partisipan sebagai tambahan  untuk  analisis  selanjutnya. Proses transkripsi dibuat setiap selesai melakukan wawancara dengan satu partisipan  dan  sebelum  wawancara dengan partisipan yang lain.
3.      Membaca hasil transkrip secara berulang – ulang sebanyak 4 – 5 kali dari semua partisipan agar peneliti lebih memahami pernyataan – pernyataan  partisipan tentang pertimbangan dan alasan pasien hipertensi yang menjalani terapi alternatif komplementer secara mendalam.
4.      Membaca transkrip untuk memperoleh ide yang dimaksud partisipan   yaitu berupa kata  kunci  dari  setiap  pernyataan partisipan, yang kemudian diberi garis bawah pada pernyataan yang penting agar bisa dikelompokkan.
5.       Menentukan arti setiap pernyataan yang penting dari semua partisipan dan pernyataan yang berhubungan dengan pertimbangan dan alasan pasien hipertensi yang menjalani terapi  alternatif  komplementer.
6.      Melakukan pengelompokkan data kedalam berbagai kategori untuk selanjutnya dipahami  secara  utuh  dan  dan menentukan  tema-tema  utama  yang muncul.
7.      Peneliti mengintegrasikan  hasil secara keseluruhan kedalam bentuk deskripsi naratif mendalam tentang pertimbangan dan alasan pasien hipertensi yang menjalani terapi alternatif komplementer.
8.      Peneliti kembali ke partisipan untuk klarifikasi data hasil wawancara berupa transkrip yang telah dibuat  kepada  partisipan,  untuk memberikan   kesempatan   kepada partisipan menambahkan informasi yang belum diberikan pada saat wawancara pertama  atau  ada  informasi  yang  tidak ingin dipublikasikan  dalam penelitian.
9.      Data baru yang diperoleh saat dilakukan validasi kepada partisipan digabungkan ke dalam transkrip yang telah disusun peneliti berdasarkan persepsi partisipan.

HASIL DAN BAHASAN
Berdasarkan  temuan  pada penelitian  ini, hasil penelitian  ini menemukan dua tema pada penelitian ini. Kedua tema berdasarkan temuan pada penelitian ini meliputi :
1.      Proses pengambilan keputusan menjalani terapi bekam.
2.      Alasan klien menjalani terapi bekam.
Tema pertama tentang proses pengambilan keputusan memilih terapi bekam, pada penelitian ini ditemukan dua faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan memilih terapi bekam yaitu adanya faktor   sosial dan faktor psikologis. Tema kedua tentang alasan menjalani terapi bekam, pada penelitian ini ditemukan beberapa alasan menjalani terapi   bekam yang meliputi aspek fisiologis, psikologis, ekonomi dan spiritual. Selanjutnya peneliti membahas secara rinci masing-masing tema yang teridentifikasi   berdasarkan   tujuan penelitian yang dicapai.
Proses Pengambilan Keputusan dalam pemilihan Terapi Bekam
Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan   data   dan   informasi   bahwa proses pengambilan keputusan terdiri dai dua faktor yaitu faktor sosial dan faktor psikologis. Faktor sosial yang mempengaruhi partisipan dalam mengambil keputusan untuk memilih terapi bekam adalah dengan berdiskusi dengan anggota keluarga dan karena adanya dukungan dari anggota keluarga. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan menurut teori Lawrence yang dikutip Soekidjo Notoatmodjo (2003), kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh  2  faktor  pokok, yaitu  perilaku (behavior causes) dan faktor dari luar perilaku (Non-behavior causes). Salah satu faktor perilaku adalah faktor memperkuat/pendorong (reinforcing factor) yaitu faktor yang memperkuat terjadinya perilaku tersebut yaitu mendapat dukungan dari keluarga/kerabat, teman, petugas kesehatan dan lain-lain.
Faktor psikologis yang mempengaruhi   partisipan   dalam mengambil keputusan untuk memilih terapi bekam  adalah  adanya  rasa  percaya kepada  keluarga ataupun orang lain. Bangsa  Indonesia  telah  lama  mengenal dan   menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman  berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang  secara  turun  temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Sukandar, 2006). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan terapi alternatif komplementer sudah digunakan sejak nenek moyang dan perilaku tersebut mendapatkan dukungan dari  keluarga  karena  adanya  keyakinan dan  kepercayaan  dalam  masyarakat secara turun temurun.
Proses pengambilan keputusan dimulai dengan penerimaan informasi, memproses berbagai informasi dengan kemungkinan dampaknya, kemudian mengambil keputusan dari berbagai kemungkinan dan melaksanakannya. Proses  pengambilan  keputusan dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosiologis yang berinteraksi secara tidak logis. Keputusan yang diambil orang sakit penting bagi pengobat untuk menilai hasil terapi dan kemungkinan hasil yang diharapkan (Supardi, 1996).
Menurut    hasil    penelitian    dari Lorenc, Clarke, Robinson & Blair (2009) tentang How parents choose to use CAM: a. systematic  review of theoretical models menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam memilih terapi alternatif komplementer adalah adanya keinginan (nilai-nilai pribadi, tujuan), kepercayaan (harapan terhadap proses dan hasil pengobatan,  pengetahuan  dan  faktor lainnya  seperti  kemudahan  akses.Selain itu ada dua pendekatan dominan dalam pengambilan keputusan menggunakan terapi alternatif komplementer yaitu (1) konsep  dari  pemanfaatan  fasilitas kesehatan mengenai kesempatan dan keterlibatan dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan, (2) perilaku kesehatan dimana pengambilan keputusan terapi alternatif komplementer di gambarkan dalam kerangka sosial dan psikologis terutama faktor kognitif.
Alasan klien menjalani terapi alternatif komplementer bekam
Alasan    klien    dalam    menjalani terapi   bekam   tercermin   dalam   sebuah tema alasan  klien menjalani terapi alternatif  komplementer  bekam. Berdasarkan data dan informasi dari partisipan, partisipan menyatakan bahwa alasan menjalani terapi bekam meliputi aspek fisiologis, aspek psikologis, aspek ekonomi dan aspek spiritual. Berbeda dengan  hasil  penelitian  Rayner,  Mc Lachlan,  Forster  and  Cramer  (2009) tentang Australian women’s use of complementary and alternative medicine to enhance fertility: exploring  the experience of  women  and  practitioners  menyatakan bahwa alasan yang menyebabkan peningkatan pemanfaatan terapi alternatif komplementer adalah  karena  ketidak puasan dengan pengobatan konvensional, kebutuhan akan control yang lebih dari keputusan    pengobatan,    perawatan penyakit   kronis,   kelamiahan   terapi alternatif  komplementer  dan  adanya interaksi personal antara klien dengan praktisi.
Aspek fisiologis yang menjadi alasan  klien  dalam  menjalani  terapi alternatif komplementer bekam adalah terbebasnya dari efek samping obat kimia (Amira 2007, Shafiq 2003, Sirois 2008). Pengobatan  tradisional  atau  herbal semakin diperhatikan. Banyak alasan mengapa masyarakat memilih cara ini. Pengobatan secara medis yang semakin mahal, adanya efek samping untuk pemakaian obat kimiawi jangka panjang, maupun  kesembuhan  melalui  cara medis yang tidak 100% khususnya untuk penyakit yang kronis ( Haryana, 2006 ).
Hal ini sesuai dengan penelitian Amira (2007) tentang Frequency of complementary and alternative medicine utilization in hypertensive patients attending an urban tertiary care centre in Nigeria  menyatakan  bahwa  sebagian besar pasien hipertensi memilih terapi alternatif komplementer dengan alasan kealamiahan terapi, dan tidak adanya efek samping  dari  terapi  tersebut.  Hal  serupa juga sesuai dengan Shafiq et al (2003) dalam  penelitiannya tentang  Prevalence and Pattern of use of complementary  and alternative medicine (CAM) in hypertensive patients of tertiary care center in India menyatakan bahwa menghindari efek samping adalah salah satu alasan penggunaan terapi alternatif komplementer terhadap  59% responden  pada  penelitian yang dilakukan di India.
Berdasarkan hasi temuan pada penelitian ini bahwa salah satu alasan menjalani terapi bekam adalah karena kemanjuran  atau kecocokan  terapi terhadap penyakit yang diderita. Menurut Sirois (2008) dalam penelitiannya  tentang Motivations for consulting complementary and alternative medicine practitioners: A comparison of consumers from 1997-8 and 2005 menyatakan bahwa motivasi atau alasan   masyarakat   mengunakan   terapi alternatif dia masih menganggap hal ini sebagai alasan utama dalam pemilihan pengobatan alternatif. Meskipun faktor-faktor ekonomi memainkan  peran  dalam pemilihan  terapi alternatif komplementer,faktor biaya tidak selalu dapat diprediksi. Sebagai contoh, sebuah  kesalahpahaman  yang  biasa terjadi adalah bahwa pasien memilih terapi alternatif komplementer dan pengobatan tradisional karena biaya yang lebih murah dibandingkan pengobatan konvensional. Walaupun  banyak  bukti  biaya  perawatan alternatif komplementer adalah menggunakan pengobatan alternatif, ketidakefektifan  pengobatan  konvensional terhadap  penyakit  yang  di  alami. 
Alasan komplementer  dan pengobatan tradisional lebih  murah  daripada  biaya  pengobatan lainnya. komplementer   dapat  memberikan   peran aktif  kepada  masyarakat  dalam memelihara kesehatan dan adanya efek samping    yang    tidak    diinginkan dari menemukan bahwa biaya pengobatan alternatif komplementer dan pengobatan tradisional sama atau lebih mahal dibandingkan pengobatan medis pengobatan konvensional. Menurut  Walcott (2004) salah satu  alasan  pemilihan  pengobatan alternatif   adalah   faktor   ekonomi.Satu Salah  satu studi  telah menunjukkan bahwa pertimbangan keuangan  bukan faktor utama dalam memilih pengobatan tradisional. Pengobatan alternatif/tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan cukup banyak dibandingkan obat kimia, sehingga ketersedian  bahan-bahan  tumbuhan  bisa menjalankan kemudahan akses dan kemudahan terapi (Winston dan Patel 1995 ). 

Berdasarkan  data dan informasi yang ditemukan pada penelitian ini bahwa alasan   menjalani   terapi   bekam   adalah sebagai salah satu ibadah dalam rangka menjalankan  ajaran  agama  yang dianutnya. Pengobatan dengan bekam sudah  digunakan  semenjak  zaman  Nabi. Terbukti dengan adanya  hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “Kesembuhan itu terdapat pada tiga hal, yaitu minuman madu, sayatan alat bekam dan kay (pembakaran) dengan api, dan sesungguhnya  aku melarang  umatku  dari kay .” Sabda yang  lain “Sungguh, pengobatan paling utama yang kalian gunakan  adalah  bekam  ”(Hadits  Bukhari) (Y asin, 2007).
Beribadah merupakan proses keimanan  yang  diawali dengan  niat yang kemudian di amalkan dan dilaksanakan dengan ketaatan. Dengan beragama manusia mempunyai aturan petunjuk dan nasehat dalam menjalankan kehidupannya. Motivasi ibadah adalah dorongan  seseorang  untuk  berbakti kepada Allah untuk mencapai tujuan hidupnya, yang  ditunjukan  dengan  sikap dan  perilaku  yang  baik  yaitu  untuk mendapat ridho Allah. Beribadah adalah pengakuan kita terhadap Allah, dimana kita bergantung hanya pada satu yaitu Allah yang  menciptakan  manusia,  dunia,  dan alam semesta. Dengan pengakuan ini, timbulkan rasa aman dalam jiwa manusia bahwa   ada   pendukung   hidupnya   yang amat dekat, yang tidak akan pernah membuatnya sedih.
Dalam beribadah kita memerlukan motivasi, motivasi menggerakkan sikap, tanpa  ada  motivasi  yang  didasari keikhlasan, apalagi semata-mata hanya menjalankan kewajiban, maka ibadah tersebut menjadi kering tanpa makna. Motivasi  dibagi menjadi  2 bagian  penting yaitu:
a.       Motivasi utama atau motivasi psikologi.
Motivasi utama atau psikologi adalah motivasi yang fitrah yang sudah menjadi tabiat dan bawaan manusia sejak lahir, berhubungan  erat dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan fisik. motivasi psikologi yang terpenting adalah motivasi menjaga kelangsungan hidup dengan pemenuhan rasa lapar, haus , lelah, sakit , bernafas. 


b.      Motivasi Kejiwaan (spiritual).
Motivasi kejiwaan dan spiritual,  seperti  motivasi  untuk  tetap konsisten menjalankan ajaran agama, motivasi bertaqwa, mencintai kebaikan, kebenaran dan membenci kezaliman. (Az- Zahrani, 2005).

SIMPULAN DAN SARAN
Proses pengambilan keputusan pasien hipertensi yang menjalani terapi bekam  mempertimbangkan faktor social dan faktor psikologis. Faktor social yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan memilih terapi bekam adalah adanya  dukungan  dari  keluarga  dan dengan diskusi dengan anggota keluarga. Faktor psikologis yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan memilih terapi bekam adalah karena adanya kepercayaan dengan  orang  lain.  Alasan klien dalam menjalani terapi altertif komplementer digambarkan dalam satu tema yaitu alasan menjalani terapi bekam. Alasan menjalani terapi bekam meliputi aspek fisiologis, ekonomi, psikologis dan aspek spiritual. Aspek fisiologis yang menjadi alasan menjalani terapi bekam adalah keinginan untuk terbebas dari efek samping   obat. Aspek   ekonomi   berupa harga terapi bekam yang terjangkau, aspek  psikologis  meliputi  adanya kecocokan dengan terapi bekam serta adanya  aspek  spiritual  berupa terapi bekam adalah salah satu ajaran agama tertentu.
Hasil penelitian ini diharapkan bahwa perawat dapat memahami  tentang terapi alternatif  komplementer  bekam dan dapat menjadi praktisi terapi alternatif komplementer  bekam,  peran  lainnya adalah  perawat  mempunyai  peranan seperti  care  provider, conselor, educator dan advocator dalam pelaksanaan terapi alternatif komplementer bekam. Bagi pelayanan keperawatan, diharapkan dapat dijadikan rekomendasi di bidang keperawatan sehingga terapi alternatif komplementer  bekam  dapat  dijadikan salah satu intervensi keperawatan yang komprehensif  dan  saling  melengkapi dalam   pemberian   asuhan   keperawatan. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat dilakukan  penelitian  tentang persepsi dan harapan pasien hipertensi yang menjalani terapi alternatif komplementer bekam.
“Kami memberikan salah satu contoh jurnal mengenai  alternatif penanganan hipertens karena, nefrosklerosis sendiri merupakan jenis hipertensi berat. Pencegahan nefrosklerosis sendiri dapat dilakukan dengan menjaga tekanan darah tetap normal. Banyak alternatif pengobatan atau medis yang dapat digunakan untuk mengatasi hipertensi. Sebagai perawat, kita dapat membuat sebuah penelitian dengan mengangkat permasalahan nefrosklerosis “Pengaruh terapi bekam pada pasien hipertensi terhadap resiko nefrosklerosis”.
















BAB 3
PENUTUP
                                                                           
3.1              Kesimpulan
Nefrosklerosis adalah pengerasan atau sklerosis arteri ginjal akibat hipertensi yang lama. Penyakit ini menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan bercak nekrosis parenkim rena, terjadi fibrosis dan glomerulus rusak.
 Terdapat dua bentuk nefrosklerosis :
a.       Nefrosklerosis maligna
Nefrosklerosis ganas terjadi pada hipertensi maligna.
Hipertensi maligna paling sering terjadi akibat tekanan darah tinggi yang tidak terkendali. Gejalanya berupa : Gelisah, Linglung, Mengantuk, Penglihatan kabur, Sakit kepala, Mual,Muntah, Hematuria makroskopik, Proteinuria berat, Peningkatan kreatinin plasma.      
b.      Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis jinak terjadi pada sebagian besar pasien hipertensi esensial. Penyebabnya dikarenakan Nefrosklerosis benigna ini sering dihubungkan dengan arterisklerosis/usia tua dan hipertensi. Gejalanya pasien dengan nefrosklerosis benigna jarang mengeluh gejala renal, gejala yang muncul : Proteinuria ringan dan Nokturia.
Pengobatan
Tekanan darah sangat tinggi dapat diatasi dengan pengaturan diet dan obat-obatan. Penderita yang mengalami gagal ginjal progresif menjalani dialisa.
Pencegahan
Pengawasan tekanan darah secara ketat pada orang-oarang yang cenderung menderita hipetensi akan menurunkan resiko terjadinya nefrosklerosis.




3.2              Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan diharapkan dapat memahami dan mengetahui penyebab, gejala, pencegahan pada Nefrosklerosis sehingga dalam melakukan tindakan keperawatan di masa mendatang dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang sudah ditetapkan.


























DAFTAR PUSTAKA

Guyton, Arthur C. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical–surgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1999)
Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)
Suyono, S, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001
  

Currently have 0 komentar:


Leave a Reply