Selasa, 15 Oktober 2013
MAKALAH KEPERAWATAN SISTEM
PERKEMIHAN II
“PENATALAKSANAAN ASUHAN
KEPERAWATAN PADA
PASIEN HIDRONEFROSIS“
Oleh:
Kelompok 6
1. Achmad
Sobirin (101.0001)
2. Dyanti
Ayu Candra Lestari (101.0029)
3. Ghora
Kertapati (101.0047)
4. Malvinas
Kusuma P. (101.0065)
5. Nur
Alisa (101.0081)
6. Tri
Wahyuni (101.0107)
PROGRAM
STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2013
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Obstruksi lintas air
kemih menyebabkan aliran urine tertahan (retensi). Hal ini dapat terjadi di
sepanjang lintasan dari hulu pada piala sampai ke muara pada uretra. Gangguan
penyumbatan ini bisa disebabkan oleh kelainan mekanik di dalam liang, pada
dinding atau tindisan dari luar terhadap dinding lintasan atau disebabkan
kelainan dinamik (neuromuskuler) yang masing-masing bisa karena kelainan dibawa
lahir atau diperdapat. Selanjutnya penyumbatan ini bisa menyumbat sempurna
(total) atau tidak sempurna (sub total) dengan masing-masing bisa tampil
mendadak, menahun atau berulang timbul. Adanya rintangan penyumbatan total.
Pada penyumbatan sub-total melewatkan sebagian air kemih dan menahun sebagian
lain yang berangsur menumpuk seluruhnya pada penyumbatan total. Pada
penyumbatan sub-total melewatkan sebagian air kemih dan menahan sebagian lain
yang berangsur-angsur menumpuk. Tumpukan air kemih ini meregangkan lintasan
pada hulu obstruksi sehingga melebar. Bagian hulu saluran ini berusaha
meningkat tenaga dorong untuk mengungguli hambatan sumbatan dengan menambah
kuat kontraksi jaringan dinding saluran agar penyaluran air kemih dapat
berlangsung sempurna seperti biasanya (kompensasi). Selanjutnya pada
perlangsungan obstruksi biasanya mengundang kehadiran bakteri dan pembentukan
batu yang menyebabkan penyulit-penyulit yang lebih memberatkan keadaan.
Rentetan kejadian makin ke hulu melibatkan ginjal sehingga terjadi hidronefrosis.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
anatomi dan fisiologi pada sistem perkemihan?
2. Apakah pengertian dari Hidronefrosis?
3. Apakah etiologi dari Hidronefrosis?
4. Apakah tanda dan gejala yang muncul pada penderita
Hidronefrosis?
5. Bagaimanakah patofisiologi dari penyakit
Hidronefrosis?
6. Bagaimanakah morfologi sistem perkemihan pada
penderita Hidronefrosis?
7. Apakah penyakit komplikasi yang bisa muncul pada
penderita Hidronefrosis?
8. Bagaimanakah penatalaksanaan pada penderita
Hidronefrosis?
9. Apakah diagnosis keperawatan yang dapat dimunculkan
pada kasus Hidronefrosis?
10.
Apakah rencana
keperawatan yang dapat diberikan pada penderita Hidronefrosis?
1.3
Tujuan
1.3.1 Tujuan Khusus
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Keperawatan Sistem Perkemihan II.
1.3.1 Tujuan Umum
1.
Memahami anatomi
dan fisiologi sistem perkemihan.
2. Memahami pengertian dan etiologi penyakit
hidronefrosis.
3. Memahami tanda dan gejala yang muncul pada penderita
hidronefrosis.
4. Memahami patofisiologi dan morfologi pada penderita
hidronefrosis.
5. Memahami komplikasi yang terjadi pada penderita
hidronefrosis.
6. Memahami penatalaksanaan pada penderita hidronefrosis.
7.
Memahami
diagnosis dan rencana keperawatan yang dapat diberikan pada penderita
hidronefrosis.
1.4
Manfaat
1.
Mahasiswa
mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi sistem perkemihan.
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami pengertian dan
etiologi penyakit hidronefrosis.
3. Mahasiswa mengetahui dan memahami tanda dan gejala
yang muncul pada penderita hidronefrosis.
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami patofisiologi dan
morfologi pada penderita hidronefrosis.
5. Mahasiswa mengetahui dan memahami komplikasi yang
terjadi pada penderita hidronefrosis.
6. Mahasiswa mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada
penderita hidronefrosis.
7.
Mahasiswa
mengetahui dan memahami diagnosis dan rencana keperawatan yang dapat diberikan
pada penderita hidronefrosis.
BAB
2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan
Sistem
perkemihan merupakan organ vital dalam melakukan ekskresi dan melakukan
eliminasi sisa-sisa hasil metabolisme tubuh. Selain mempunyai fungsi eliminasi,
sistem perkemihan juga mempunyai fungsi lainnya, yaitu sebagai berikut:
1.
Meregulasi
volume darah dan tekanan darah dengan mengeluarkan sejumlah cairan ke dalam
urine dan melepaskan eritropoietin, serta melepaskan renin.
2. Meregulasi konsentrasi plasma dari sodium, potasium,
klorida, dan mengontrol kuantitas kehilangan ion-ion lainnya ke dalam urine,
serta menjaga batas ion kalsium dengan menyintesis kalsitrol.
3. Mengonstribusi stabilisasi ph darah dengan mengontrol
jumlah keluarnya ion hydrogen dan ion bikarbonat ke dalam urine.
4. Menghemat pengeluaran nutrisi dengan memelihara
ekskresi pengeluaran nutrisi tersebut pada saat proses eliminasi produk sisa,
terutama pada saat pembuangan nitrogen seperti urea dan asam urat.
5.
Membantu organ
hati dalam mendetoksikasi racun selama kelaparan, deaminasi asam amino yang
dapat merusak jaringan.
Aktivitas sistem
perkemihan dilakukan secara hati-hati untuk menjaga komposisi darah dalam batas
yang bisa diterima. Setiap adanya gangguan dari fisiologis di atas akan
memberikan dampak yang fatal.
Sistem
perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra. Untuk
menjaga fungsi ekskresi, sistem perkemihan memiliki dua ginjal. Organ ini
memproduksi urine yang berisikan air, ion-ion, dan senyawa-senyawa solute yang
kecil. Urine meninggalkan kedua ginjal dan melewati sepasang ureter menuju dan
ditampung sementara pada kandung kemih. Proses ekskresi urine dinamakan miksi,
terjadi ketika adanya kontraksi dari otot-otot kandung kemih menekan urine
untuk keluar melewati uretra dan keluar dari tubuh.
1. Ginjal
Secara anatomi, kedua ginjal terletak
pada setiap sisi dari kolumna tulang belakang antara T12 dan L3. Ginjal kiri
terletak agak lebih superior dibanding ginjal kanan. Permukaan anterior ginjal
kiri diselimuti oleh lambung, pancreas, jejunum, dan sisi fleksi kolon kiri.
Permukaan superior setiap ginjal terdapat kelenjar adrenal.
Posisi dari kedua ginjal di dalam
rongga abdomen dipelihara oleh (1) dinding peritoneum, (2) kontak dengan
organ-organ visceral, dan (3) dukungan jaringan penghubung. Ukuran setiap
ginjal orang dewasa adalah panjang 10 cm; 5,5 cm pada sisi lebar; dan 3 cm pada
sisi sempit dengan berat setiap ginjal berkisar 150 gr.
Lapisan
kapsul ginjal terdiri atas jaringan fibrous bagian dalam dan bagian luar.
Bagian dalam memperlihatkan anatomis dari ginjal. Pembuluh-pembuluh darah
ginjal dan drainase ureter melewati hilus dan cabang sinus renal. Bagian luar
berupa lapisan tipis yang menutup kapsul ginjal dan menstabilisasi struktur
ginjal. Korteks ginjal merupakan lapisan bagian dalam sebelah luar yang
bersentuhan dengan kapsul ginjal. Medula ginjal terdiri atas 6-18 piramid
ginjal. Bagian dasar piramid bersambungan dengan korteks dan di antara pyramid
dipisahkan oleh jaringan kortikal yang disebut kolum ginjal.
a. Nefron
Ada
sekitar 1 juta nefron pada setiap ginjal dimana apabila dirangkai akan mencapai
panjang 145 km. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh karena itu pada
keadaan trauma ginjal atau proses penuaan akan terjadi penurunan jumlah nefron
secara bertahap dimana jumlah nefron yang berfungsi akan menurun sekitar 10%
setiap 10 tahun, jadi pada usia 80 tahun jumlah nefron yang berfungsi 40% lebih
sedikit daripada usia 40 tahun. Penurunan fungsi ini tidak mengancam jiwa
karena perubahan adaptif sisa nefron dalam mengeluarkan produk sisa yang tepat
(Guyton, 1997 dalam buku Arif Muttaqin & Kumala Sari, 2012).
Nefron
terdiri atas glomerulus yang akan dilalui sejumlah cairan untuk difiltrasi dari
darah dan tubulus yang panjang dimana cairan yang difiltrasi diubah menjadi
urine dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal.
Perkembangan
segmen-segmen tubulus dari glomerulus ke duktus pengumpul. Setiap tubulus
pengumpul menyatu dengan tubulus-tubulus pengumpul lain untuk membentuk duktus
yang lebih besar.
Glomerulus
tersusun dari suatu jaringan kapiler glomerulus yang bercabang dan
beranastomosis, mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60 mmHg) bila
dibandingkan dengan jaringan kapiler lainnya. Kapiler glomerulus dilapisi oleh
sel-sel epitel dan seluruh glomerulus dibungkus dalam kapsula Bowman.
Cairan
yang difiltrasi dari kapiler gromerulus mengalir ke dalam kapsula Bowman dan
kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks ginjal. Dari
tubulus proksimal, cairan mengalir ke ansa Henle yang masuk ke dalam medulla
renal. Setiap lengkung terdiri atas cabang desenden dan asenden. Binding/ikatan
cabang desenden dan ujung cabang asenden yang paling rendah sangat tipis, oleh
karena itu, disebut bagian tipis dari ansa Henle. Ujung cabang asenden tebal
merupakan bagian tebal yang pendek, yang sebenarnya merupakan plak pada
dindingnya, dan dikenal sebagai macula densa. Setelah macula densa, cairan
memasuki tubulus distal, yang terletak pada korteks renal, seperti tubulus
proksimal.
Tubulus
ini kemudian dilanjutkan dengan tubulus rektus dan tubulus koligentes kortikal,
yang menuju ke duktus koligentes tunggal besar yang turun ke medulla dan
bergabung membentuk duktus yang lebih besar secara progresif yang akhirnya
mengalir menuju pelvis renal melalui ujung papilla renal.
Meskipun
setiap nefron mempunyai semua komponen seperti yang digambarkan di atas, tetapi
tetap terdapat perbedaan, bergantung pada berapa dalamnya letak nefron pada
massa ginjal. Nefron yang memiliki glomerulus dan terletak di luar korteks
disebut nefron kortikal; nefron tersebut mempunyai ansa Henle pendek yang hanya
menembus ke dalam medulla dengan jarak dekat. Setiap segmen-segmen distal
nefron bertanggung jawab terhadap (1) reabsorpsi seluruh substrat organik yang
masuk tubulus, (2) reabsorpsi 90% lebih dari air yang difiltrasi, dan (3)
sekresi air dan produk sisa ke tubulus yang hilang pada saat proses filtrasi.
Kira-kira
20-30% nefron mempunyai gromerulus yang terletak di korteks renal sebelah dalam
dekat medulla dan disebut nefron jukstamedular. Nefron ini mempunyai ansa Henle
yang panjang dan masuk sangat dalam ke medulla. Pada beberapa tempat semua
berjalan menuju ujung papilla renal.
Struktur
vaskular yang menyuplai nefron jukstamedular juga berbeda dengan yang menyuplai
nefron kortikal. Pada nefron kortikal, seluruh sitem tubulus dikelilingi oleh
jaringan kapiler peritubular yang luas. Pada nefron jukstamedular, arteriol
eferen panjang akan meluas dari gromerulus turun ke bawah menuju medulla bagian
luar dan kemudian membagi diri menjadi kapiler-kapiler peritubulus khusus yang
disebut vasa rekta, yang meluas ke bawah menuju medulla dan terletak
berdampingan dengan ansa Henle. Seperti ansa Henle, vasa rekta kembali menuju
korteks dan mengalirkan isinya ke dalam vena kortikal.
b. Aliran Darah Ginjal
Ginjal
menerima sekitar 1200 ml darah per menit atau 21% dari curah jantung. Aliran darah
yang sangat besar ini tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi yang
berlebihan, tetapi agar ginjal dapat secara terus menerus menyesuaikan
komposisi darah. Dengan menyesuaikan komposisi darah, ginjal mampu
mempertahankan volume darah, memastikan keseimbangan natrium, klorida, kalium,
kalsium, fosfat, dan ph, serta membuang produk-produk metabolisme sebagai urea.
Arteri
renalis memasuki ginjal melalui hilum bersama dengan ureter dan vena renalis,
kemudian bercabang-cabang secara progresif membentuk arteri interlobaris,
arteri skuata, asteri interlobularis (juga disebut arteri radialis), dan
arteriol aferen, yang menuju ke kapiler glomerulus dalam gromerulus dimana
sejumlah besar cairan dan zat terlarut (kecuali protein plasma) difiltrasi
untuk memulai pembentukan urine.
Ujung
distal kapiler dari setiap gromerulus bergabung untuk membentuk arteriol
aferen, yang menuju jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubular yang
mengelilingi tubulus ginjal.
Sirkulasi
ginjal ini bersifat unik karena memiliki dua bentuk kapiler, yaitu kapiler
glomerulus dan kapiler peritubulus, yang diatur dalam suatu rangkaian dan
dipisahkan oleh arteriol eferen yang membantu untuk mengatur tekanan
hidrostatik dalam kedua perangkat kapiler. Tekanan hidrostatik yang tinggi pada
kapiler gromerulus (kira-kira 60 mmHg) menyebabkan filtrasi cairan yang cepat,
sedangkan tekanan hidrostatik yang lebih jauh lebih rendah pada kapiler
peritubulus (kira-kira 13 mmHg) menyebabkan reabsorpsi cairan yang cepat.
Dengan mengatur resistensi arteriol aferen dan eferen, ginjal dapat mengatur
tekanan hidrostatik kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus, dengan demikian
mengubah laju filtrasi glomerulus dan/atau reabsorpsi tubulus sebagai respons
terhadap kebutuhan homeostatic tubuh (Guyton, 1997 dalam buku Arif Muttaqin
& Kumala Sari, 2012)
Kapiler
peritubulus mengosongkan isinya ke dalam pembuluh sistem vena, yang berjalan
secara parallel dengan pembuluh arteriol dan secara progresif membentuk vena
interlobularis, vena arkuata, vena interlobaris, dan vena renalis yang
meninggalkan ginjal di samping arteri renalis dan ureter.
c. Pembentukan Urine
Kecepatan
ekskresi berbagai zat dalam urine menunjukkan jumlah ketiga proses ginjal,
yaitu (1) filtrasi gromerulus, (2) reabsorpsi zat dari tubulus renal ke dalam
darah, dan (3) sekresi zat dari darah ke tubulus renal.
Pembentukan
urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang bebas protein dari
kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali
untuk protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat
glomerulus dalam kapsula Bowman hampir sama dengan dalam plasma. Ketika cairan
yang telah difiltrasi ini meninggalkan kapsula Bowman dan mengalir melewati
tubulus, cairan diubah oleh reabsorpsi air dan zat terlarut spesifik yang
kembali ke dalam darah atau oleh sekresi zat-zat lain dari kapiler peritubulus
ked lam tubulus.
Produksi
urine akan memelihara homeostasis tubuh dengan meregulasi volume dan komposisi
dari darah. Proses ini berupa ekskresi dan eliminasi dari berbagai larutan,
terutama hasil sisa metabolisme yang meliputi Urea, Kreatinin, Asam Urat.
Produk
sisa harus diekskresi dalam larutan sehingga proses eliminasi juga akan
mengalami kehilangan air. Kedua ginjal mampu memproduksi konsentrasi urine
dengan konsentrasi osmotik 1200 sampai 1400 mOsm/L, melebihi empat kali
konsentrasi plasma. Apabila kedua ginjal tidak mampu untuk mengonsentrasikan
produk filtrasi dan filtrasi gromerulus, kehilangan cairan yang banyak akan
berakibat fatal dimana terjadi dehidrasi pada beberapa jam kemudian. Untuk
memenuhi hal tersebut, ginjal memerlukan tiga proses berbeda, yaitu sebagai
berikut:
1)
Filtrasi. Pada
saat filtrasi, tekanan darah akan menekan air untuk menembus membrane filtrasi.
Pada ginjal, membran filtrasi terdiri atas glomerulus, endothelium, lamina
densa, dan celah filtrasi.
2) Reabsorpsi. Reabsorpsi adalah perpindahan air dan
larutan dari filtrate, melintasi epitel tubulus dan ke dalam cairan
peritubular. Kebanyakan material yang diserap kembali adalah nutrient gizi yang
diperlukan tubuh. Dengan kata lain, elektrolit, seperti ion natrium, klorida,
dan bikarbonat, direabsorpsi dengan sangat baik sehingga hanya sejumlah kecil
saja yang tampak dalam urine. Zat nutrisi tertentu, seperti asam amino dan
glukosa, direabsorpsi secara lengkap dari tubulus dan tidak muncul dalam urine
meskipun sejumlah besar zat tersebut difiltrasi oleh kapiler glomerulus.
3)
Sekresi. Sekresi
adalah transportasi larutan dari peritubulus ke epitel tubulus dan menuju
cairan tubulus. Sekresi merupakan proses penting sebab filtrasi tidak
mengeluarkan seluruh material yang dibuang dari plasma. Sekresi menjadi metode
penting untuk membuang beberapa material, seperti berbagai jenis obat yang
dikeluarkan ke dalam urine.
Pada saat yang sama,
kedua ginjal akan memastikan cairan yang hilang tidak berisi substrat organik
yang bermanfaat, seperti glukosa, asam amino yang banyak terdapat di dalam
plasma darah. Material yang berharga ini harus diserap kembali dan ditahan
untuk digunakan oleh jaringan lain.
Setiap proses filtrasi
gromerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus diatur menurut kebutuhan
tubuh. Sebagai contoh, jika terdapat kelebihan natrium dalam tubuh, laju filtrasi
natrium meningkat dan sebagian kecil natrium hasil filtrasi akan direabsorpsi,
menghasilkan peningkatan ekskresi dalam urine.
Pada
banyak zat, laju filtrasi dan reabsorpsi relatif sangat tinggi terhadap laju
ekskresi. Oleh karena itu, pengaturan yang lemah terhadap filtrasi atau
reabsorpsi dapat menyebabkan perubahan yang relatif besar dalam ekskresi
ginjal. Sebagai contoh, kenaikan laju filtrasi gromerulus (GFR) yang hanya 10%
(dari 180 menjadi 198 liter/hari) akan menaikan volume urine 13 kali lipat
(dari 1,5 menjadi 19,5 liter/hari) jika reabsorpsi tubulus tetap konstan.
d. Filtrasi Gromerulus
Filtrasi
glomerulus adalah proses dimana sekitar 20% plasma yang masuk ke kapiler
glomerulus menembus kapiler untuk masuk ke ruang intertisium, kemudian ke dalam
kapsula Bowman. Pada ginjal yang sehat, sel darah merah atau protein plasma
hampir tidak ada yang mengalami filtrasi.
Proses
filtrasi menembus glomerulus serupa dengan yang terjadi pada proses filtrasi di
seluruh kapiler lain. Hal yang berbeda pada ginjal adalah bahwa kapiler
glomerulus sangat permeable terhadap air dan zat-zat terlarut yang berukuran
kecil. Tidak seperti kapiler lain, gaya yang mendorong filtrasi plasma menembus
kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman lebih besar daripada gaya yang
mendorong reabsorpsi cairan kembali ke kapiler. Dengan demikian, terjadi
filtrasi bersih cairan ke dalam ruang Bowman. Cairan ini kemudian masuk dan
berdifusi ke dalam kapsula Bowman dan memulai perjalanannya ke seluruh nefron.
Pada glomerulus, adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotatik koloid pada
kedua sisi kapiler menyebabkan terjadinya perpindahan cairan.
2. Ureter
Ureter
adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urine dari
pielum ginjal ke dalam kandung kemih. Pada orang dewasa, panjangnya kurang
lebih 20 cm. Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel
transisional, otot-otot polos sirkuler dan longitudinal yang dapat melakukan
gerakan peristaltik (berkontraksi) guna mengeluarkan urine ke kandung kemih.
Jika karena sesuatu sebab terjadi
sumbatan pada aliran urine, terjadi kontraksi otot polos yang berlebihan yang
bertujuan untuk mendorong/mengeluarkan sumbatan tersebut dari saluran kemih.
Kontraksi itu dirasakan sebagai nyeri kolik yang datang secara berkala, sesuai
dengan irama peristaltik ureter.
Ureter
memasuki kandung kemih menembus otot detrusor di daerah trigonum kandung kemih.
Normalnya ureter berjalan secara oblique sepanjang beberapa sentimenter
menembus kandung kemih yang disebut dengan ureter intramural kemudian berlanjut
pada ureter submukosa. Tonus normal dari otot detrusor pada dinding kandung
kemih cenderung menekan ureter, dengan demikian mencegah aliran balik urine
dari kandung kemih saat terjadi tekanan di kandung kemih. Setiap gelombang
peristaltik yang terjadi sepanjang ureter akan meningkatkan tekanan dalam
ureter sehingga bagian yang menembus kandung kemih membuka dan memberi
kesempatan kandung urine mengalir ke dalam kandung kemih.
3. Kandung Kemih
Kandung
kemih berfungsi menampung urine dari ureter dan kemudian mengeluarkannya
melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Dalam menampung urine, kandung
kemih mempunyai kapasitas maksimal, dimana pada orang dewasa besarnya adalah
±300-450 ml. Pada saat kosong, kandung kemih terletak di belakang simfisis
pubis dan pada saat penuh berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan
diperkusi.
Kandung
kemih adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor yang saling
beranyaman. Pada dinding kandung kemih terdapat 2 bagian yang besar. Ruangan
yang berdinding otot polos adalah sebagai berikut:
a)
Badan (korpus)
merupakan bagian utama kandung kemih dimana urine berkumpul.
b)
Leher (kolum),
merupakan lanjutan dari badan yang berbentuk corong, berjalan secara inferior
dan anterior ke dalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra.
Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra posterior
karena hubungannya dengan uretra.
Serat-seratnya
meluas ke segala arah dan bila berkontraksi dapat meningkatkan tekanan dalam
kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg, dengan demikian, kontraksi otot
detrusor adalah langkah terpenting untuk mengosongkan kandung kemih. Sel-sel
otot polos dari otot detrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran
listrik berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel yang lain. Oleh karena
itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot detrusor, dari satu sel otot
ke sel otot yang berikutnya sehingga terjadi kontraksi seluruh kandung kemih.
Pada
dinding posterior kandung kemih, tepat di atas bagian leher dari kandung kemih,
terdapat daerah segitiga kecil yang disebut trigonum. Bagian terendah dari
apeks trigonum adalah bagian kandung kemih yang membuka menuju leher masuk ke
dalam uretra posterior dan kedua ureter memasuki kandung kemih pada sudut
tertinggi di trigonum. Trigonum sangat dikenal dengan mukosanya, yaitu lapisan
paling dalam kandung kemih yang memiliki testur paling lembut dibandingkan
dengan lapisan-lapisan lainnya yang berlipat-lipat berbentuk rugae. Masing-masing
ureter pada saat memasuki kandung kemih, berjalan secara oblique melalui otot
detrusor dan kemudian melewati 1 sampai 2 sentimeter lagi di bawah mukosa
kandung kemih sebelum mengosongkan diri ke dalam kandung kemih.
Leher
kandung kemih (uretra posterior) panjangnya 2 sampai tiga sentimeter, dan
dindingnya terdiri atas otot detrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar
jaringan elastis. Otot pada daerah ini disebut sfingter internal. Sifat
tonusnya secara normal mempertahankan leher kandung kemih dan uretra posterior
agar kosong dari urine, dan oleh karena itu mencegah pengosongan kandung kemih
sampai pada saat tekanan puncak yang dilakukan oleh otot-otot kandung kemih
dalam mendorong urine keluar melalui uretra.
Setelah
uretra posterior, uretra berjalan melewati diafragma urogenital, yang
mengandung lapisan otot yang disebut sfingter eksterna kandung kemih. Otot ini
merupakan otot lurik yang berbeda dengan otot pada badan dan leher kandung
kemih, yang hanya terdiri atas otot polos. Otot sfingter eksterna bekerja di
bawah kendali sistem saraf volunter dan dapat digunakan secara sadar untuk
menahan miksi (berkemih) bahkan bila kendali involunter berusaha untuk
mengosongkan kandung kemih.
Persarafan
utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan dengan medulla
spinalis melalui pleksus sakralis, terutama berhubungan dengan medulla spinalis
segmen S2 dan S3. Berjalan melalui nervus pelvikus ini adalah serat saraf
motorik. Serta sensorik mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih.
Tanda-tanda regangan dari uretra posterior bersifat sangat kuat dan terutama
bertanggung jawab untuk mencetuskan reflex yang menyebabkan kandung kemih
melakukan kontraksi pada proses miksi.
Saraf
motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat parasimpatis. Serat
ini berakhir pada sel ganglion yang terletak dalam dinding kandung kemih, saraf
postganglion pendek, kemudian mempersarafi otot detrusor.
Selain
nervus pelvikus, terdapat dua tipe persarafan lain yang penting untuk fungsi
kandung kemih. Hal yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan
melalui nervus pudendal menuju sfingter eksternus kandung kemih, yang
mempersarafi dan mengontrol sfingter otot lurik pada sfingter. Selain itu,
kandung kemih juga menerima saraf simpatis dari rangkaian simpatis melalui
nervus hipogastrikus, terutama hubungan dengan segmen L2 medula spinalis. Serat
simpatis ini mungkin terutama merangsang pembuluh darah dan sedikit memengaruhi
kontraksi kandung kemih. Beberapa serat saraf sensorik juga berjalan melalui
saraf simpatis dan mungkin penting dalam menimbulkan sensasi rasa penuh dan
pada beberapa keadaan terasa nyeri.
4. Uretra
Uretra
merupakan tabung yang menyalurkan urine keluar dari kandung kemih melalui
proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra
posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam
menyalurkan cairan mani.
Uretra
diperlengkapi dengan sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan
kandung kemih dan uretra, serta sfingter uretra eksterna yang terletak pada
perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna terdiri atas
otot polos yang dipersarafi oleh system simpatik sehingga pada saat kandung
kemih penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot
bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai dengan
keinginan seseorang. Pada saat BAK, sfingter ini terbuka dan tetap tertutup
pada saat menahan urine.
Panjang
uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih
23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan
pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria
terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh
kelenjar prostat dan uretra pars membranasea. Pada bagian posterior lumen
uretra prostatika, terdapat suatu tonjolan veromontanum, dan di sebelah
proksimal dan distal dari verumontanum ini terdapat Krista uretralis. Bagian
akhir dari vas deferens yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat di pinggir
kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di
dalam duktus prostatikus yang terbesar di uretra prostatika.
2.2
Pengertian Hidronefrosis
Hidronefrosis
adalah dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atau kedua ginjal
akibat adanya obstruksi. Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine
mengalir balik, sehingga tekanan diginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di
uretra atau kandung kemih, tekanan baik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi
jika obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan,
maka hanya satu ginjal saja yang rusak (Smeltzer & Brenda, 2001).
Hidronefrosis merupakan
suatu keadaan pelebaran dari pelvis ginjal dan kalises. Adanya hidronefrosis
harus dianggap sebagai respons fisiologis terhadap gangguan aliran urine.
Meskipun hal ini sering disebabkan oleh proses obstruktif, tetapi dalam
beberapa kasus, seperti megaureter sekunder untuk refluks pralahir, sistem
pengumpulan mungkin membesar karena tidak adanya obstruksi (Arif Muttaqin dan
Kumala Sari, 2012).
2.3
Etiologi
Menurut
Parakrama & Clive (2005) penyebab yang bisa mengakibatkan hidronefrosis
adalah sebagai berikut:
a. Hidronefrosis
unilateral: obstruksi pada salah satu sisi saluran kemih pada umumnya
disebabkan oleh proses patologik yang letaknya proksimal terhadap kandung
kemih. Keadaan ini berakibat hidronefrosis dan dapat menyebabkan atrofi serta
kehilangan fungsi salah satu ginjal tanpa menyebabkan gagal ginjal. Penyebab
obstruksi unilateral adalah:
1. Obstruksi
taut ureteropelvik-kelainan
ini umum ditemukan. Pada beberapa pasien memang terdapat obstruksi anatomik-paling
sering adalah arteria renalis aberen yang menekan ureter bagian atas-sebagian besar
kasus bersifat idiopatik (hidronefrosis idiopatik). Pada pasien ini didapatkan
obstruksi fungsional pada taut ureteropelvik dengan lumen paten. Kelainan
kongenital pada inervasi atau otot ureteropelvik telah diduga sebagai penyebab,
dan kelainan ini dapat disembuhkan dengan pengangkatan regio tersebut dan
reanatomosis secara bedah. Pada kasus ini didapatkan obstruksi berat dan
dilatasi progresif pelvis ginjal (hidronefrosis) di atas taut
ureteropelvik. Ureter masih normal. Akibat pada ginjal bervariasi. Pada pasien dengan pelvis
ginjal ekstrarenal, pelebaran masif menghasilkan massa kistik yang sangat besar
pada hilum ginjal yang dapat
terlihat sebagai massa abdomen. Pada keadaan ini, peningkatan tekanan di dalam ginjal kurang
dibandingkan bila pelvis berada intrarenal, dan distensi akan menyebabkan
pembesaran sistem pelviokalise dan selanjutnya atrofi ginjal.
2. Penyakit
ureter kongenital-kelainan
kongenital ureter yang lain dapat menyebabkan hidronefrosis unilateral. Keadaan
ini meliputi ureter ganda, ureter bifida, dan kelainan otot ureter yang
menyebabkan penebalan dinding ureter (megaureter). Ureterokel merupakan
pelebaran kistik bagian terminal ureter yang disebabkan oleh stenosis
kongenital orifisium ureter pada dinding kandung kemih. Ureter terminal kistik
tersebut umumnya menonjol ke dalam lumen kandung kemih. Walaupun kelainan
ureter ini dapat terjadi pada masa anak, sebagian besar ditemukan secara
kebetulan atau menimbulkan gejala pada usia dewasa.
3. Penyakit
ureter didapat-kelainan ini umum ditemukan dan meliputi (1) obstruksi lumen
oleh batu, bekuan darah, atau kerak papila ginjal yang nekrotik; (2) penyebab
mural, seperti striktur fibrosa dan neoplasma; (3) tekanan ekstrinsik terhadap
ureter pada fibrosis retroperitoneum dan neoplasma retroperitoneum.
Striktur
fibrosa dapat terjadi setelah peradangan, tuberkulosis, atau cedera ureter yang
sebagian besar disebabkan oleh pembedahan pelvis pada kanker genokologi. Lesi
neoplasma (baik primer maupun metastasis) jarang mengenai ureter secara primer.
Yang lebih sering terjadi adalah keganasan retroperitoneum dan pelvis yang
menginfiltrasi ureter pada saat
menyebar. Ureter juga dapat mengalami obstruksi pada bagian terminal yang masuk
kedalam kandung kemih. Kanker kandung kemih sering menimbulkan komplikasi
hidronefrosis unilateral.
b. Hidronefrosis
bilateral:
1. Di
sebelah distal kandung kemih, penyebab tersering adalah hiperplasia prostat
pada pria usia lanjut. Adanya katup uretra posterior kongenital juga dapat
menyebabkan hidronefrosis bilateral pada anak usia muda. Pada pasien paraplegia
dengan kandung kemih neurogenik biasanya juga didapatkan hidronefrosis
bilateral.
2. Penyebab
yang mengenai kedua ureter mencakup fibrosis retroperitoneum dan keganasan.
3. Disfungsi
otot ureter yang timbul pada masa kehamilan (mungkin akibat efek progesteron
pada otot polos) juga dapat menimbulkan hidroureter dan hidronefrosis ringan.
Menurut Kimberly (2011)
penyebab dari hidronefrosis adalah sebagai berikut:
1.
Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)
2.
Striktur uretra
3.
Batu ginjal
4.
Striktur atau stenosis
ureter atau saluran keluar kandung kemih
5.
Abnormalitas kongenital
6.
Tumor kandung kemih,
ureter, atau pelvis
7.
Bekuan darah
8.
Kandung kemih
neurogenik
9.
Ureterokel
10. Tuberkulosis
11. Infeksi
gram negatif
Sedangkan menurut David
Ovedoff (2002) penyebab dari hidronefrosis adalah sebagai berikut:
1.
Tekanan membalik akibat obstruksi
congenital.
2.
Obstruksi pada perbatasan ureteropelvis
(uretropelvic junction), penyempitan ureter atau kompresi ekstrinsik didapat.
3.
Batu atau neoflasma dalam ureter pada
perbatasan ureteropelvis dalam vesika, pada leher kandung kemih, atau prostat.
4.
Berkaitan dengan terapi radiasi atau
fibrosis retroperitoneal.
5.
Menyebabkan atoni, fibrosis, dan
hilangnya daya peristaltik.
6.
Atrofi parenkim ginjal, terutama tubulus
kemudian tekanan kembali ke tubulus proksimal dan glomerolus.
2.4
Tanda dan Gejala
Menurut
David Ovedoff (2002) tanda dan gejala hidernefrosis adalah:
- Nyeri dan pembengkakan di daerah pinggang
- Kolik menunjukan adanya batu
- Demam dan menggigil bila terjadi infeksi
- Mungkin terdapat hipertensi
- Beberapa penderita tidak menunjukan gejala
Pasien mungkin
asimtomatik jika awitan terjadi secara bertahap. Obstruksi akut dapat
menimbulkan rasa sakit di panggul dan punggung. Jika terdapat infeksi, maka
disuria, menggigil, demam, dan nyeri tekan serta piuria akan terjadi. Hematiria
dan piuria mungkin juga ada. Jika kedua ginjal terkena, tanda dan gejala gagal
ginjal kronik akan muncul (Smeltzer & Brenda, 2001).
2.5
Patofisiologi
Obstruksi
total akut ureter pada binatang percobaan menyebabkan pelebaran mendadak dan
peningkatan tekanan lumen bagian proksimal tempat obstruksi. Filtrasi
glomerulus tetap berlangsung dengan peningkatan filtrasi pada tubulus dan
penumpukan cairan di ruang interstisium. Peningkatan tekanan interstisium
menyebabkan disfungsi tubulus. Kerusakan nefron ireversibel terjadi dalam waktu
kira-kira 3 minggu. Pada obstruksi parsial, kerusakan ireversibel terjadi dalam
waktu yang lebih lama dan bergantung pada derajat obstruksi.
Sebagian besar penyebab obstruksi
saluran kemih yang diuraikan diatas menyebabkan obstruksi parsial lambat
terhadap aliran urine. Keadaan ini menyebabkan hidronefrosis dan atrofi korteks
ginjal progresif akibat kerusakan nefron yang berlangsung selama berbulan-bulan
atau bahkan tahunan. Hanya hidronefrosis bilateral yang dapat menyebabkan gagal
ginjal. Statis urine akibat obstruksi meningkatakan insidensi pielonefritis
akut dan pembentukan batu saluran kemih yang keduanya dapat memperberat obstruksi.
Obstruksi
ureter akut oleh batu, bekuan darah, atau kerak papila renalis akan menyebabkan
kolik ureter akibat peningkatan peristalsis ureter. Kolik ureter merupakan
nyeri intermitten yang sering kali sangat berat pada sudut ginjal posterior dan
menjalar disekitar pinggang (flank) menuju daerah pubis. obstruksi unilateral
kronis biasanya asimtomatik bahkan pada obstruksi total dan umumnya berlanjut
dengan kerusakan ginjal permanen sebelum terdeteksi. Obstruksi parsial
bilateral kronis memberikan gambaran gagal ginjal kronis progresif, meliputi
hipertensi, kegagalan fungsi tubulus (poliuria, asidosis tubulus renalis, dan
hiponatremia), dan timbulnya batu saluran kemih atau pielonefritis akut.
Penanganan pasien tersebut dapat mengembalikan fungsi tubulus menjadi normal
bila dilakukan secara dini. Obstruksi bilateral total meneyebabkan gagal ginjal
akut tipe pascaginjal dan selanjutnya dengan cepat menuju ekmatian bila tidak
segera dikoreksi. Oleh karena itu, keadaan ini termasuk kegawatdaruratan medis (Kimberly, 2011).
Sedangkan
menurut Vinay Kumar, dkk (2007) Obstruksi bilateral total menyebabkan anoria,
yang menyebabkan pasien segera berobat. Apabila obstruksi terletak dibawah
kandung kemih, gejala dominant adalah keluhan peregangan kandung kemih. Secara
paradoks, obstruksi bilateral inkomplit menyebabkan poliuria bukan oliguria,
akibat terganggunya kemampuan tubulus memekatkan urin dan hal ini dapat
menyamarkan sifat asli kelainan ginjal. Sayangnya, hidronefrosis unilateral
dapat tetap asintomatik dalam jangka lama, kecuali apabila ginjal yang lain
tidak berfungsi karena suatu sebab. Ginjal yang membesar sering ditemukan
secara tidak sengaja pada pemerksaan fisik rutin. Kadang-kadang penyebab dasar
hidronefrosis, seperti kalkulus ginjal atau tumor obstruktif, menimbulkan
gejala yang secara tidak langsung menimbulkan perhatian ke hifronefrosis.
Dihilangkanya obstruksi dalam beberapa minggu biasanya memungkinkan pemulihan
total fungsi, namun seiring dengan waktu perubahan menjadi ireversibel.
2.6
Morfologi
Hidronefrosis bilateral
(serta hidronefrosis unilateral apabila ginjal yang lain sudah rusak atau tidak
ada) menyebabkan gagal ginjal, dan onset uremia cenderung menggagalkan
perjalanan alami lesi. Sebaliknya, pada kelainan unilateral ditemukan beragam kelainan morfologik yang
berbeda-beda sesuai dengan derajat dan kecepatan obstruksi. Pada obstruksi
subtotal atau intermiten, ginjal mungkin sangat membesar (panjang dalam kisaran
20 cm) dan organ mungkin terdiri atas hanya sistem pelviokaliks yang sangat
melebar. Parenkim ginjal itu sendiri tertekan dan mengalami atrofi, disertai
obliterasi papilla dan menggepengnya piramit. Selain itu, bila obstruksi
mendadak dan total maka filtrasi glomerolus terganggu secara dini dan akibatnya
fungsi ginjal mungkin berhenti saat dilatasi masih relatif ringan. Bergantung
pada ketinggian obstruksi, satu atau kedua ureter juga dapat melebar
(hidroureter).
Secara
mikroskopis, lesi awal memperlihatkan pelebaran tubulus diikuti atrofi dan
digantikanya epitel tubulus oleh jaringan parut sementara glomerolus relatif
tidak terpengaruh. Akhirnya, pada kasus yang parah glomerolus juga menjadi
atrofi dan menghilang, mengubah keseluruhan ginjal menjadi jaringan fibrosis
tipis. Pada obstruksi yang mendadak dan total mungkin ditemukan nekrosis
koagulasi papilla ginjal, serupa dengan perubahan pada papilitus nekroatikans.
Pada kasus non komplikata, reaksi peradangan minimal. Namun, sering terjadi
penyulit pielonefritis (Vinay Kumar, 2007).
2.7
Komplikasi
Menurut Kimberly
(2011) penyakit hidronefrosis dapat menyebabkan komplikasi sebagai berikut:
a.
Batu ginjal
b. Sepsis
c. Hipertensi
renovaskuler
d. Nefropati
obstruktif
e. Infeksi
f. Pielonefritis
g. Ileus
paralitik
2.8
Penatalaksanaan
2.8.1 Pengkajian
Pada
anamnesis tidak ada keluhan spesifik yang mengarah pada penyakit hidronefrosis.
Keluhan yang didapat bervariasi bergantung pada apakah hidronefrosis yang akut
atau kronis.
Dengan
obstruksi akut, pasien mungkin datang dengan rasa sakit, yang biasanya
digambarkan sebagai berat, intermiten, dan tumpul pada bagian pinggang. Keluhan
nyeri biasanya bertambah dengan peningkatan konsumsi cairan. Tergantung pada
tingkat hidroureter, nyeri dapat menyebar ke testis ipsilateral atau labia.
Nyeri sering menyebabkan mual dan muntah, selain itu, nyeri juga sering
dihubungkan dengan kolik ginjal.
Pada
pengkajian, juga ditemukan adanya riwayat hematuria, kencing batu, atau adanya
keganasan di mana saja di saluran kemih. Sering didapatkan adanya riwayat
demam. Hidronefrosis dapat tanpa gejala, sebagai hasil dari keganasan panggul
lanjut atau retensi urine berat dari obstruksi kandung kemih. Kondisi
hidronefrosis bilateral biasanya menunjukkan penyebab yang berkaitan dengan
kandung kemih, seperti retensi, penyumbatan prostat, atau prolaps kandung kemih
parah.
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pada
pasien dengan hidronefrosis berat, palpasi ginjal dapat teraba. Dengan
hidronefrosis bilateral, edema ekstremitas bawah dapat terjadi. Sudut
kostovertebral pada satu sisi yang terekena sering lembut. Adanya kembung pada
kandung kemih yang teraba jelas menambah bukti bahwa adanya obstruksi saluran
kemih.
2.8.3 Pengkajian Diagnostik
1. Laboratorium
Urinalisis.
Pyura menunjukkan adanya infeksi. Hematuria mikroskopik dapat menunjukkan
adanya batu atau tumor.
Hitung
jumlah sel darah lengkap: leukositosis mungkin menunjukkan infeksi akut. Kimia
serum: hidronefrosis bilateral dan hidroureter dapat mengakibatkan peningkatan
kadar BUN dan kreatinin. Selain itu, hiperkalemia dapat menjadi kondisi yang
mengancam kehidupan.
2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi
adalah metode yang cepat, murah, dan cukup akurat untuk mendeteksi
hidronefrosis dan hidroureter, namun, akurasi dapat bergantung pada pengguna.
Ultrasonografi umumnya berfungsi sebagai tes skrining pilihan untuk menetapkan
diagnosis dan hidronefrosis.
3. Pyelography Intravena (IVP)
Pyelography
intravena berguna untuk mengidentifikasi keberadaan dan penyebab hidronefrosis
dan hidroureter. Intraluminal merupakan penyebab paling mudah yang dapat
diidentifikasi berdasarkan temuan IVP.
4. CT Scan
CT
Scan memiliki peran penting dalam evaluasi hidronefrosis dan hidroureter.
Proses retroperitoneal menyebabkan obstruksi ekstrinsik dari ureter dan kandung
kemih dapat dievaluasi dengan sangat baik pada CT Scan.
2.8.4 Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Peran
pengobatan hidronefrosis dan hidroureter terbatas untuk mengontrol rasa sakit
dan pengobatan atau pencegahan infeksi. Sebagian besar kondisi pasien
memerlukan tindakan invasif atau intervensi bedah dengan prognosis pascabedah yang
baik.
Intervensi
bedah. Teknik yang dilakukan pada pasien dengan hidronefrosis dan hidroureter
bergantung pada etiologi. Secara umum, intervensi bedah dilakukan segera bila
terdapat adanya tanda-tanda infeksi pada saluran perkemihan karena infeksi dengan
hidronefrosis memberikan predisposisi penting terjadinya kondisi sepsis.
2.9
Diagnosis Keperawatan
1.
Nyeri b.d.
aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises, peregangan dari terminal saraf
sekunder dari hidronefrosis, nyeri pascabedah.
2. Risiko infeksi b.d. port de entrée luka pascabedah.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d.
mual, muntah efek sekunder dari nyeri.
4. Kecemasan b.d. prognosis pembedahan, tindakan invasive
diagnostik.
5.
Pemenuhan
informasi b.d. rencana pembedahan, tindakan diagnostik invasif, perencanaan
pasien pulang.
2.10
Rencana Keperawatan
Tujuan
dari rencana keperawatan adalah diharapkan pada evaluasi didapatkan penurunan
stimulus nyeri, penurunan risiko infeksi pascabedah, penurunan kecemasan, dan
mempersiapkan klien secara optimal untuk dilakukan pembedahan.
Untuk
intervensi pada masalah keperawatan pemenuhan informasi, ketidakseimbangan
nutrisi, perubahan pola miksi, dan kecemasan dapat disesuaikan pada masalah
yang sama pada pasien batu ginjal.
Untuk
intervensi pada masalah keperawatan risiko tinggi infeksi, dapat disesuaikan
dengan masalah yang sama pada pasien trauma ginjal.
Hasil
yang diharapkan setelah mendapatkan intervensi keperawatan adalah sebagai
berikut:
1.
Penurunan skala
nyeri.
2. Tidak terjadi infeksi pada luka pascabedah.
3. Asupan nutrisi terpenuhi.
4. Terpenuhinya informasi kesehatan.
5.
Kecemasan
berkurang.
BAB
3
PENUTUP
3.1
Simpulan
Hidronefrosis adalah
dilatasi piala dan kaliks ginjal pada salah satu atau kedua ginjal akibat
adanya obstruksi. Obstruksi pada aliran normal urine menyebabkan urine mengalir
balik, sehingga tekanan diginjal meningkat. Jika obstruksi terjadi di uretra
atau kandung kemih, tekanan baik akan mempengaruhi kedua ginjal, tetapi jika
obstruksi terjadi disalah satu ureter akibat adanya batu atau kekakuan, maka
hanya satu ginjal saja yang rusak (Smeltzer & Brenda, 2001).
Menurut David Ovedoff
(2002) penyebab dari hidronefrosis adalah sebagai berikut:
1. Tekanan
membalik akibat obstruksi congenital.
2. Obstruksi
pada perbatasan ureteropelvis (uretropelvic junction), penyempitan ureter atau
kompresi ekstrinsik didapat.
3. Batu
atau neoflasma dalam ureter pada perbatasan ureteropelvis dalam vesika, pada
leher kandung kemih, atau prostat.
4. Berkaitan
dengan terapi radiasi atau fibrosis retroperitoneal.
5. Menyebabkan
atoni, fibrosis, dan hilangnya daya peristaltik.
6. Atrofi
parenkim ginjal, terutama tubulus kemudian tekanan kembali ke tubulus proksimal
dan glomerolus.
Menurut David Ovedoff (2002) tanda dan
gejala hidernefrosis adalah:
1. Nyeri
dan pembengkakan di daerah pinggang
2. Kolik
menunjukan adanya batu
3. Demam
dan menggigil bila terjadi infeksi
4. Mungkin
terdapat hipertensi
5. Beberapa
penderita tidak menunjukan gejala
Tujuan dari rencana
keperawatan adalah diharapkan pada evaluasi didapatkan penurunan stimulus
nyeri, penurunan risiko infeksi pascabedah, penurunan kecemasan, dan
mempersiapkan klien secara optimal untuk dilakukan pembedahan.
Untuk
intervensi pada masalah keperawatan pemenuhan informasi, ketidakseimbangan
nutrisi, perubahan pola miksi, dan kecemasan dapat disesuaikan pada masalah
yang sama pada pasien batu ginjal.
Untuk
intervensi pada masalah keperawatan risiko tinggi infeksi, dapat disesuaikan
dengan masalah yang sama pada pasien trauma ginjal.
Hasil
yang diharapkan setelah mendapatkan intervensi keperawatan adalah sebagai
berikut (1) Penurunan skala nyeri, (2) Tidak terjadi infeksi pada luka
pascabedah, (3) Asupan nutrisi terpenuhi, (4) Terpenuhinya informasi kesehatan,
(5) Kecemasan berkurang.
3.2
Saran
Agar bisa melakukan
asuhan keperawatan profesional pada kasus hidronefrosis. Sudah sepantasnya
rekan-rekan mahasiswa terlebih dahulu memahami pengertian, tanda dan gejala
hingga penatalaksanaan pada kasus hidronefrosis. Selain itu agar mampu
memberikan aplikasi di pelayanan keperawatan mahasiswa harus memahami
penatalaksanaan dari masing-masing kasus hidronefrosis. Pemahaman tentang
sebuah kasus akan sangat membantu mahasiswa dalam pengembangan ilmu keperawatan
di masa yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
De Jong, Sjamsuhidayat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 3.
Jakarta: EGC.
Kumar, Vinay, dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Vol.
2, ed. 7. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2012. Asuhan
Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
Ovedoff, David. 2002. Kapita Selekta Kedokteran 2.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. 2001. Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Currently have 0 komentar: