Senin, 28 Oktober 2013
MAKALAH
KEPERAWATAN SISTEM PERKEMIHAN II
“MANAJEMEN
KASUS PADA SYSTEM PERKEMIHAN DAN
PENATALAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN BPH”
Oleh:
Kelompok
8
1. Catarina
Ruslina Utari (101.0015)
2. Elvis Kartika Siswoyo (101.0037)
3. Ika
Mahardini (101.0041)
4. Meutia
Cahaya (101.0069)
5. Rifan Hendri (101.0089)
6. Septiananingsih (101.0103)
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2013
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pembesaran
kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria
lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah urologi.
Hiperplasia
prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50
tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu penelitian
menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun mengalami
hiperplasia prostat.
Adanya
hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih dan untuk
mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari
tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai
tindakan yang paling berat yaitu operasi.
Saat
ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan teknologi di
bidang urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk penderita
muda, kegiatan seksual aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk operasi dan
pada penderita yang menolak operasi.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa definisi dari BPH (Benigna Prostat Hyperplasia)
?
2.
Bagaimana
anatomi prostat?
3.
Bagaimana
epidemiologi pada kasus BPH?
4.
Apa
etiologi dari BPH?
5.
Bagaimana
patofisiologi BPH?
6.
Apa
manifestasi klinis dari BPH?
7.
Bagaimana
WOC dari BPH?
8.
Apa kriteria
hipertrofi prostat?
9.
Apa
pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk penyakit BPH?
10.
Apa
komplikasi dari BPH?
11.
Bagaimana
penatalaksanaan BPH?
12.
Bagaimana
asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis BPH?
13.
Malpraktek
seperti apa yang bisa terjadi pada kasus BPH dan bagaimana kode etiknya?
14.
Masalah
penelitian apakah yang terdapat pada kasus BPH?
15.
Bagaimana
penyuluhan kesehatan yang dapat diberikan pada kasus BPH?
1.3
Tujuan
1.3.1
Tujuan
Umum
Setelah menyelesaikan proses pembelajaran mahasiswa diharapkan mampu mempraktekkan pengelolaan
pelayanan keperawatan secara profesional dan mahasiswa dapat menerapkan
konsep dasar dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien khususnya pada kasus BPH (Benigna Prostat Hyperplasia).
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Mengetahui konsep
dasar penyakit BPH (Benigna
Prostat Hyperplasia)
2.
Mengetahui asuhan
keperawatan pada BPH
3.
Memahami dan
mengetahui malpratek yang
terjadi pada kasus BPH dan kode etiknya
4.
Memahami dan
mengetahui masalah penelitian pada kasus BPH
1.4
Manfaat
Adapun
manfaat dari penulisan makalah ini diharapkan nantinya mahasiswa mampu memahami
dan mengerti tentang konsep dasar dari penyakit BPH (Benigna
Prostat Hyperplasia) beserta bagaimana asuhan
keperawatan yang sesuai pada klien dengan penyakit Infeksi Saluran Kemih.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
BPH
(Benigna Prostat Hyperplasia) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
yang dapat menyebabkan obstruksi dan ritriksi pada jalan urine (uretra)
(Margareth dan M.Clavo,2012).
Hipertrofi prostat merupakan
kelainan yang sering ditemukan. Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat
karena yang terjadi sebenarnya ialah hyperplasia kelenjar periuretal yang
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Sjamsuhidajat,
R dan Wim Long, 1997).
Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak
kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua
komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang
menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr.
Sutomo, 1994 : 193).
2.2 Anatomi Prostat
Prostat
merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi
bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior
rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang
paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm. Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus
:
a.
Lobus medius
b.
Lobus lateralis (2
lobus)
c.
Lobus anterior
d.
Lobus posterior
Selama
perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan menjadi satu
dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang - kadang tak
tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu - abu,
dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar
prostat.
Mc.Neal (1976)
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain adalah: zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona
periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional
yang letaknya proksimal dari sfingter externus di kedua sisi dari verumontanum
dan di zona periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh
volume prostat. Sedangkan pertumbuhan
karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Prostat
mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari verumontanum
dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan
ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan
disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.
Fascia denonvilliers terdiri dari 2
lembar, lembar depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis,
sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan
memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan kapsul
sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus
prostatovesikal. Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :
1.
Kapsul anatomi
2.
Jaringan stroma yang
terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3.
Jaringan kelenjar yang terbagi
atas 3 kelompok bagian, yaitu:
a.
Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.
b.
Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatous zone
c.
Disekitar uretra disebut periurethral gland
Pada BPH kapsul pada prostat
terdiri dari 3 lapis :
1.
Kapsul anatomis
2.
Kapsul chirurgicum, ini
terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya (outer zone)
sehingga terbentuk kapsul
3.
Kapsul
yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone) dan
bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena
mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada
bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian
tersering terjadinya perkembangan suatu
keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami hiperplasi karena
sedikit mengandung jaringan kelenjar.
Gambar 2.3. Prostat yang mengalami pembesaran (nampak pada
sistoskopi)
Gambar : Aliran
Urin Normal
Gambar : Aliran
Urin dengan BPH
2.3
Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada
pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria
mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu
ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinu sampai usia akhir 30-an.
Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.
Prevalensi yang
pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar negeri diperkirakan
semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan pengobatan untuk
prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan
umur. Sebenarnya perubahan - perubahan ke arah terjadinya pembesaran prostat
sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang
kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan
kemudian baru manifes dengan gejala klinik.
Berdasarkan
angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada
usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan
mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada
pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan
gejala dan tanda klinik.
2.4 Etiologi
Dengan
bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testoteron dan estrogen,
karena produksi testoteron menurun dan terjadi konversi testoteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer. Berdasarkan angka autopsy peubahan
mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologik
anatomic. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia
80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas menyebabkan gejala
dan tanda klink. Sebenarnya hipertrofia prostat jinak merupakan hyperplasia
kelenjar prostat. Hipertrofia kelenjar prostat tidak merupakan kelainan praganas.
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan - lahan maka efek
perubahan juga terjadi perlahan - lahan.
Pada tahap awal
setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah
prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor
kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos ke luar dantara
serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang
besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Apabila keadaan lanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga dan tidak mampu
lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin (Sjamsuhidajat, R dan Wim
Long, 1997).
Beberapa teori
atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat
adalah:
1. Teori
Hormonal
Teori ini
dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi BPH,
juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan
untuk terjadinya BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan
keseimbangan hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen,
karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim aromatase,
dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia pada stroma,
sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk inisiasi terjadinya
proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan untuk perkembangan
stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi relatif testosteron dan
estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor pertumbuhan lain yang
dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan,
bahwa dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan
produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan
makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler
(spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi
androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang
produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis,
prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi
terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.
2.
Teori Growth Factor
(faktor pertumbuhan)
Peranan dari
growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. Terdapat
empat peptic growth factor yaitu basic transforming growth factor, transforming
growth factor b1, transforming growth factor b2,
dan epidermal growth factor.
3.
Teori Peningkatan Lama
Hidup Sel - Sel Prostat karena Berkurangnya Sel yang Mati
4.
Teori Sel Stem (stem
cell hypothesis)
Seperti pada
organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang dewasa
berada dalam keadaan keseimbangan “steady
state”, antara pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini
disebabkan adanya kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat
mempengaruhi sel stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu
jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat.
Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau
proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
5.
Teori Dihydro
Testosteron (DHT)
Testosteron
yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari kelenjar
adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh globulin
menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam keadaan
testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam “target
cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma,
di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5 dyhidro
testosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi “hormone
receptor complex”. Kemudian “hormone receptor complex” ini mengalami
transformasi reseptor, menjadi “nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang
kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein menyebabkan
terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.
6.
Teori
Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi
pertama bukan pembesaran stroma pada kelenjar periuretral (zone transisi)
melainkan suatu mekanisme “glandular budding” kemudian bercabang yang
menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik. Persamaan epiteleal
budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada embrio dengan
perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya “reawakening” yaitu
jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga
jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya,
sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic
induction potential of prostatic stroma during adult hood.
2.5
Patofisiologi
Biasanya
ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi
jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, pancaran
muksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi
disebabkan hipersensitivitas otot dterusor berarti bertambahnya frekuensi
miksi, nokturia, miksi sulit di tahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi
karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi
cukup lama sehingga kontraksi terputus - putus. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi
meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan
klinik. Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung kemih, dan timbul
rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat
akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu miksi. Karena
produksi urin terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi
menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan
vesika menjadi tinggi daripada tekanan
sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradox. Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjai infeksi. Pada waktu
miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia
atau hemoroid. Karena selau terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan di
dalam kandung kemih (Sjamsuhidajat, R dan Wim Long, 1997).
2.6 Manifestasi Klinis
2.6.1
Gejala
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala
iritatif (Boyarsky dkk, 1977). Gejala obstruktif disebabkan oleh karena
penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar
dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama
saehingga kontraksi terputus - putus. Gejalanya ialah :
1.
Harus
menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2.
Pancaran miksi yang
lemah (Poor stream)
3.
Miksi terputus
(Intermittency)
4.
Menetes pada akhir
miksi (Terminal dribbling)
5.
Rasa belum puas sehabis
miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas
otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica,
sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :
1.
Bertambahnya frekuensi
miksi (Frequency)
2.
Nokturia
3.
Miksi sulit ditahan
(Urgency)
4.
Disuria (Nyeri pada
waktu miksi)
2.6.2
Tanda
Pemeriksaan
colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan
colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani,
reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan
pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat (Sjamsuhidajat, R dan Wim
Long, 1997).
Pada perabaan
prostat harus diperhatikan :
a.
Konsistensi prostat
(pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b.
Adakah asimetris
c.
Adakah nodul pada
prostat
d.
Apakah batas atas dapat
diraba
e.
Sulcus medianus
prostate
f.
Adakah krepitasi
Colok
dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti
meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma
prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.
2.7
Kriteria
Hipertrofi Prostat
Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya adalah :
1.
Rektal
grading, yaitu dengan rectal toucher diperkirakan
berapa cm prostat yang menonjol ke dalam lumen rektum yang dilakukan sebaiknya
pada saat buli-buli kosong.
Berdasarkan
penonjolan prostat ke dalam rektum :
a.
Derajat
1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
b.
Derajat
2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
c.
Derajat
3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
d.
Derajat
4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum
2.
Clinical grading, dalam
hal ini urine menjadi patokan. Pada pagi hari setelah bangun pasien disuruh
kencing sampai selesai, kemudian dimasukkan kateter kedalam buli-buli untuk
mengukur sisa urine.
a.
Sisa urine 0 cc :
Normal
b.
Sisa urine 0-50 cc : Grade 1
c.
Sisa urine 50-150 cc : Grade 2
d.
Sisa urine >150 :
Grade 3
e.
Tidak bisa kencing : Grade 4
3.
Intra Uretral Grading,
dengan alat perondoskope dengan diukur/dilihat beberapa jauh penonjolan lobus
lateral kedalam lumen uretra
a.
Grade 1
Clinical
grading sejak berbulan-bulan, bertahun-tahun, mengeluh kalau kencing tidak
lancar, pancaran lemah, nokturia.
b.
Grade 2
Bila miksi terasa panas, sakit, disuria
c.
Grade 3
Gejala makin berat
d.
Grade 4
Buli
- buli penuh, disuria, overflow inkontinence. Bila overflow inkontinence
dibiarkan dengan adanya infeksi dapat terjadi urosepsis berat. Pasien
menggigil, panas 40-41o celcius, kesadaran menurun.
2.8
Pemeriksaan
Penunjang
2.8.1
Pemeriksaan
Laboratorium
a.
Darah
:
·
Ureum
dan Kreatinin
·
Elektrolit
·
Blood
urea nitrogen (BUN)
·
Prostate
Specific Antigen (PSA)
·
Gula
darah
b.
Urin :
·
Kultur urin dan
sensitifitas test
·
Urinalisis
dan pemeriksaan mikroskopik
2.8.2
Pemeriksaan
Pencitraan
1.
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi
dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonography/TRUS). Selain untuk mengatahui
pembesaran prostat pemeriksaan ultrasonografi dapat pula menentukan volume buli
– buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikel,
tumor, dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal dapat diukur besar prostat
untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula
dilakkan dengan ultrasonografi suprapubik.
2.
Pemeriksaan sistografi
Pemeriksaan
ini dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan
urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan untuk ini dapat memberi gambaran
kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila
darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain
itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan
mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam
uretra.
3.
Foto
polos abdomen (BNO)
Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit
ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung
kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma
prostat.
2.8.3
Pemeriksaan
Lain
1.
Uroflowmetri
Untuk
mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :
·
Daya
kontraksi otot detrusor
·
Tekanan
intravesica
·
Resistensi
uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju
pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah
menjadi 6 – 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat
derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.
1.
Pemeriksaan
Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri
tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi
otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram.
Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat
diukur.
2.
Pemeriksaan
Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara
sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin
yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang
akurat) dengan membuat USG.
2.9
Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat
dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :
1.
Inkontinensia
Paradoks
2.
Batu
Kandung Kemih
3.
Hematuria
4.
Sistitis
5.
Pielonefritis
6.
Retensi
Urin Akut Atau Kronik
7.
Refluks
Vesiko-Ureter
8.
Hidroureter
9.
Hidronefrosis
10.
Gagal
Ginjal
2.10
Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik
biasanya akan menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala
klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan
sisa volume urin. Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada
colok dubur ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat
lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml
tetapi kurang dari 100 ml. Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas
prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml, sedangkan derajat
empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi
kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan
miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan
jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah
dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan
kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke
atas atau bila timbul obstruksi.
Derajat berat
gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok
dubur dan sisa volume urin. Didalam praktek pembagian besar prostat derajat
I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan (Sjamsuhidajat, R dan Wim Long,
1997).
1.
Derajat I
Pada
derajat I biasanya belum memerlukan tindakan bedah diberikan pengobatan konservatif
misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin, dan
terazosin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hyperplasia prostat
sedikitpun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untk pemakaian lama.
2.
Derajat II
Derajat
II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi
endoskopik melalui uretra (transurethral
resection/TUR). Mortalitas TUR sekitar 1% dan morbiditas sekitar 8%. Kadang
derajat dua dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.
3.
Derajat III
Pada
derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukp
berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi
tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal, retropubik atau
peritoneal. Pada operasi melalui kandung kemih dibuat sayatan perut bagian
bawah menurut Pfannenstiel, kemudian prostat dienukleasi dari dalam. Keuntungan
teknik ini yaitu dapat sekaligus untuk mengangkat batu buli – buli atau
divertikelektomi apabila ada divertikel yang cukup besar. Cara poembedahan
retropubik menurut Millin dikerjakan melalui sayatan kulit Pfannenstuel dengan
membuka sampai prostat tanpa membuka kandung kemih, kemudian prostat
dienukleasi. Cara ini mempunyai keunggulan yaitu tanpa membuka kandung kemih
sehingga pemasangan kateter tidak lama seperti bila membuka vesika.
Kerugiannya, cara ini tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang
harus dikerjakan dari dalam kandung kemih. Kedua cara pembedahan terbuka
tersebut masih kalah dibandingkan dengan cara TUR yaitu morbiditasnya yang
lebih lama, tetapi dapat dikerjakan tanpa memerlukan alat endoskopi yang
khusus, dengan alat bedah baku. Prostatektomi melalui sayatan perineal tidak
dikerjakan lagi.
4.
Derajat IV
Pada
hipertrofi derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah
membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan memasang kateter atau
sistostomi. Setelah itu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan
dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat
adrenoreseptor alfa. Efek samping obat ini adalah gejala hipotensi seperti
pusing, lemas, palpitasi, dan rasa lemah.
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan.
Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih
dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula
beberapa terapi non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan
dengan terapi bedah. Mengingat gejala klinik
hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar
periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor,
maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
1.
Menghilangkan
atau mengurangi volume prostat
2.
Mengurangi tonus leher
vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3.
Melebarkan uretra pars
prostatika, menambah kekuatan detrusor
Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan
hiperplasia prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan
tindakan, yaitu :
1.
Observasi (Watchful
waiting)
Tidak semua
pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang mereka
yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) ringan dapat sembuh
sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun. Tetapi diantara
mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik
yang lain karena keluhannya semakin parah.
2.
Medikamentosa
a.
Penghambat adrenergik a
Seperti kita
ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan kapsul
prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama mengandung
reseptor alpha, jadi dengan pemberian obat golongan alpha adrenergik bloker,
terutama alpha 1 adrenergik bloker maka tonus leher vesika, otot polos prostat
dan kapsul prostat akan berkurang, sehingga sehingga menghasilkan peningkatan
laju pancaran urin dan memperbaiki gejala miksi. Bila serangan prostatismus
memuncak menjurus kepada retensio urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot
polos prostat meningkat atau berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah
sangat rasional. Episode serangan biasanya cepat teratasi.
Contoh obatnya
adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2x10 mg/hari. Sekarang telah
tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1 adrenergik bloker yaitu
Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain selain itu adalah Terazosin
dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan Doxazosin. Pengobatan dengan penghambat alpha
ini pertama kali dilakukan oleh Caine dan kawan-kawan yang dilaporkan pada
tahun 1976. Dengan pengobatan secara ini ditemukan perbaikan sekitar 30-70%
pada symptom skore dan kira-kira 50% pada flow rate. Tetapi kelompok obat ini
tidak dapat digunakan berkepanjangan karena efek samping obat ini berupa
hipotensi ortostatik, palpitasi, astenia vertigo dan lain-lain yang sangat
mengganggu kualitas hidup kecuali bagi penderita hipertensi.
Penelitian
terakhir di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Doxazosin terbukti efektif dalam pengobatan
hiperplasia prostat jangka panjang pada pasien hipertensi dan normotensi.
Prazosine diketahui lebih selektif sebagai alpha 1 adrenergik bloker, sedang
phenoxy benzanmine meskipun lebih kuat tetapi tidak selektif untuk reseptor
alpha 1 dan alpha 2, dan sekarang ditakutkan phenoxy benzanmine bersifat
karsinogenik. Jadi kelompok obat penghambat adrenoreseptor alpha ini hanya
dapat digunakan untuk jangka pendek dan akan lebih fungsional pada terapi tahap
awal, obat ini mempunyai efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat
sedikitpun.
b.
Fitoterapi
Kelompok
kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi farmakokinetik dan
farmakodinamik terstandar secara konvensional dan universal. Kelompok obat ini
juga disebut dengan “obat modern”. Tidak semua penyakit dapat diobati secara
tuntas dengan kemoterapi ini. Banyak
penyakit kronis, degeneratif, gangguan metabolisme, dan penuaan yang belum ada
obatnya seperti: kanker, hepatitis, HIV, demensia, dll. Banyak pula yang belum
bisa dituntaskan pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH, DM, hipertensi,
rematik, dll. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau alternatif. Kelompok
terapi ini disebut Fitoterapi. Disebut demikian karena berasal dari tumbuhan.
Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih memerlukan penelitian yang
panjang.
c.
Hormonal
Pada tingkat
supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist yaitu obat yang menjadi
kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang lebih besar dengan reseptor bagi
LH-RH, sehingga obat ini akan “menghabiskan” reseptor dengan membentuk LH-RH
super agonist reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh karena banyaknya LH-RH
super agonist yang menangkap reseptor, pada permulaan justru akan terjadi
kenaikan produksi LH oleh hypofisis. Tetapi setelah reseptor “habis”maka LH-RH
tidak dapat lagi mencari reseptor , maka LH akan menurun. Contoh obat adalah
Buserelin, dengan dosis minggu I 3dd 500 mg
s.c. (7 hari) dan minggu II intra nasal spray 200 mg,
3 kali sehari.
Pemberian
obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat hipofisis misalnya dengan
pemberian Gn-RH analogue sehingga menekan produksi LH, yang menyebabkan
produksi testosteron oleh sel leydig berkurang. Cara ini tentu saja menyebabkan
penurunan libido oleh karena penurunan kadar testosteron darah.
Pada tingkat
infra hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan balik dengan menekan
produksi FSH dan LH, sehingga produksi testosteron juga menurun. Contoh
preparatnya ialah Diaethyl Stilbestrol (DES) dosis satu kali 1-5 mg sehari.
Pada tingkat
testikular, orchiectomi untuk pengobatan pembesaran prostat jinak hanya dikenal
pada sejarah, sekarang cara pengobatan ini untuk hiperplasia prostat telah
ditinggalkan. Untuk karsinoma prostat tentu saja orchiectomi masih dikerjakan
oleh karena pertimbangan kemungkinan penyebaran ca prostat dan juga biasanya
penderita telah tua.
Pada tingkat
yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen yang mekanisme
kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT dengan cara menghambat 5
alpha reduktase, suatu enzim yang diperlukan untuk mengubah testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT), suatu hormon androgen yang mempengaruhi pertumbuhan
kelenjar prostat, sehingga jumlah DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak
berkurang, sehingga libido juga tidak menurun. Penurunan kadar zat aktif dehidrotestosteron ini
menyebabkan mengecilnya ukuran prostat. Contoh obat tersebut ialah Finesteride,
Proscar dengan dosis 5 mg/hari dalam jangka waktu lebih dari 3 bulan,
Finasteride mengurangi volume prostat sampai 30%. Penelitian lain di Kanada
menyatakan bahwa Finasteride mengurangi volume prostat pada 613 pria dengan
angka rata-rata 21%, mengurangi gejala dan memperbaiki laju pancaran urin
sampai 12%. Obat ini mempunyai toleransi baik dan tidak mempunyai efek samping
yang bermakna.
Obat
anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat yang
mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap reseptor DHT
sehingga DHT tidak dapat membentuk kompleks DHT-Reseptor. Contoh obatnya ialah
: Cyproterone acetate 100 mg 2 kali/hari, Flutamide, medrogestone 15 mg2
kali/hari dan Anandron. Obat ini juga tidak menurunkan kadar testosteron pada
darah, sehingga libido tidak menurun. Golongan gestagen dan ketokonazole, obat-obat
ini mempunyai khasiat : mengurangi enzim dehidrogenase dan isomerase yang
berguna untuk metabolisme steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan
testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh
obatnya adalah Megestrol acetat 160 mg empat kali sehari dan MPA 300-500
mg/hari. Kesulitan pengobatan konservatif ini adalah menentukan berapa lama
obat harus diberikan dan efek samping dari obat.
3.
Operatif
A. Prostatektomi
terbuka
a)
Retropubic infravesika
(Terence millin)
b)
Suprapubic transvesica/TVP
(Freyer)
c)
Transperineal
B. Endourologi
a)
Trans urethral
resection (TUR)
b)
Trans urethral incision
of prostate (TUIP)
c)
Pembedahan dengan laser
(Laser Prostatectomy)
·
Trans urethral
ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)
·
Trans urethral evaporation
of prostate (TUEP)
·
Teknik koagulasi
4.
Invasif minimal
a. Trans
urethral microwave thermotherapy (TUMT)
b. Trans
urethral ballon dilatation (TUBD)
c. Trans
urethral needle ablation (TUNA)
d. Stent
urethra dengan prostacath
2.11 Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
a. Sirkulasi
Peningkatan tekanan darah (efek
lebih lanjut pada gejala).
b. Eliminasi
1.
Penurunan kekuatan kateter
berkemih
2.
Ketidakmampuan
pengosongan kandung kemih
3.
Nokturia, disuria,
hematuria
4.
Duduk dalam
mengosongkan kandung kemih
5.
Konstepasi (penonjolan
prostat ke rektum)
c. Makanan
cairan
1.
Anoreksia, nausea,
vomiting
2.
Penurunan BB
d. Nyeri
nyaman
1.
Suprapubis, panggul,
nyeri belakang, nyeri pinggang belakang
2.
Demam
e. Seksualitas
1.
Takut beser selama
kegiatan intim
2.
Penurunan kontraksi
ejakulasi
3.
Pembesaran prostat
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan
rasa nyaman nyeri b.d spasme otot sfingter
Tujuan:
setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3-5 hari pasien mampu
mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.
Kriteria
hasil:
· Secara
verbal pasien mampu mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang
· Pasien
dapat beristirahat dengan tenang
Intervensi:
a)
Monitor dan catat
adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri.
b)
Observasi tanda – yanda
verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut
nadi)
c)
Beri kompres hangat
pada abdomen terutama perut bagian bawah
d)
Anjurkan pasien untuk
menghindari stimulant (kopi, the, merokok, abdomen tegang)
e)
Atur posisi pasien
senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
f)
Ajarkan pada pasien
untuk manajemen nyeri
g)
Laporkan pada dokter
jika nyeri meningkat
2.
Perubahan pola
eliminasi urin: retensu urin b.d obstruksi sekunder
Tujuan:
setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5-7 hari pasien tidak mengalami
retensi urin.
Kriteria
hasil: pasien dapat BAK teratur, bebas dari distensi kandung kemih.
Intervensi:
a) Lakukan
irigasi kateter secara berkala atau terus menerus dengan teknik steril
b) Atur
posis selang kateter dan urin bag sesuai gravotasi dalam keadaan tertutup
c) Mempertahankan
kesterilan sistem drainage, cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat
dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah
d) Monitor
urin setiap jam (hari pertama opersi) dan setiap 2 jam (mulai hari kedua post
operasi)
e) Ukur
intake output cairan
f) Beri
tindakan asupan atau pemasukan oral 2000-3000 ml/hari, jika tidak ada
kontraindikasi
g) Berikan
latihan perineal (kegel training) 15-20x/jam selama 2-3 minggu, anjurkan dan
motivasi pasien untuk melakukannya
3.
Resiko tinggi disfungsi
seksual b.d sumbatan saluran ejakulasi
Tujuan:
setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1-3 hari pasien mampu
mempertahankan fungsi seksualnya.
Kriteria
hasil: pasien menyadari keadaannya dan akan mulai lagi interaksi seksual dan
aktivitas secara optimal.
Intervensi:
a) Motivasi
pasien untuk mengungkapkan perasaannya yang berhubungan dengan perubahannya
b) Jawablah
setiap pertanyaan pasien dengan tepat
c) Beri
kesempatan pada pasien untuk mendiskusikan perasaannya tetntang efek prostatektomi
dalam fungsi seksual
d) Beri
penjelasan tentang impoten terjadi pada prosedur radikal, adanya kemungkinan
fungsi seksual kembali normal dan adanya
kemunduran ejakulasi.
e) Anjurkan
pasien untuk menghindari hubungan seksual selama 1 bulan post operasi
4. Resiko
terjadinya infeksi b.d masuknya mikroorganisme melalui kateterisasi
Tujuan:
setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1-3 hari pasien terbebas dari
infeksi
Kriteria
Hasil:
·
Tanda – tanda vital
dalam batas normal
·
Tidak ada bengkak,
eritema
·
Luka insisi semakin
sembuh
Intervensi:
a) Lakukan
irigasi kandung kemih dengan larutan steril
b) Observasi
insisi, adanya indurasi drainage dan kateter, adanya sumbatan, kebocoran
c) Lakukan
perawatan luka insisi
secara aseptic, jaga kulit sekitar kateter dan drainage
d) Monitor
balutan luka, gunakan pengikat bentuk T perinel untuk menjamin dressing
e) Monitor
tanda – tanda sepsis
5.
Kurang pengetahuan b.d
kurang informasi tentang penyakit dan cara perawatannya
Tujuan:
setelah dilakukan asuhan keperawatan selam 1-2 hari klien mengerti tentang
keadaanya.
Kriteria
hasil: secara verbal pasien mengerti dan mampu mengungkapkan dan
mendemonstrasikan perawatan.
Intervensi:
a) Motivasi
pasien dan keluarga untuk mengungkapkan pernyataannya tentang penyakit dan
perawatannya
b) Berikan
pendidikan pada pasein dan keluarga tentang:
· Perawatan
luka, pemberian nutrisi, cairan irigasi, kateter
· Perawatan
di rumah
· Adanya
tanda – tanda hemoragi dan infeksi
2.12 Malpraktik dan Penerapan Kode Etik
Tn.
S, 69 tahun datang ke IGD Saras Husada Purworejo dengan keluhan tidak bisa
buang air kecil sejak kemarin siang, 1 hari yang lalu. Pasien merasa sakit pada
kandung kemih karena tidak bisa kencing. Pasien tampak menahan sakit. Tampak
ada penumpukan pada kandung kemih. Klien mengatakan sudah dilakukan op BPH di
Rumah Sakit lain dan sekarang hari ke 40 post op setelah dilakukan op masih
tidak bisa BAK dengan lancar. Kemudian dilakukan tindakan pemasangan kateter. Kateter
telah terpasang selama 5 hari dan belum mendapat
perawatan. Pada penelitian yang pernah dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang dengan judul “Faktor
Faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap usia 20 tahun ke atas
dengan kateter menetap di RSUD Tugurejo Semarang” memberikan kesimpulan bahwa
pemakaian keteter lebih dari 3 hari dapat menimbulkan ISK (infeksi saluran
kemih) sebanyak 25% kejadian.
Pada
pasien BPH tidak kemungkinan akan dipasang kakteter karena adanya retensi urin.
Kasus BPH berpengaruh dengan kelancaran pembuangan urin, yaitu akan menggangu
saluran uretra pada normalnya. Saluran uretra akan terhimpit oleh pembengkakan
prostat. Bahkan uretra tidak mampu lagi mengeluarkan urin sehingga akan terjadi
gangguan pada eliminasi urin (retensi urin). Banyaknya urin yang tertampung
pada vesika juga akan berpengaruh terhadap pelebaran jalan urin pada ureter.
Semakin banyak urin tertampung maka semakin tinggi tekanan yang diberikan
terhadap organ sekelilingnya. Tidak kemungkinan akan memberi tekanan pada
prostat sehingga menimbulkan semakin tersumbat saluran uretranya. Hal ini
menjadi kejadian yang gawat karena bisa terjadi pecah kandung kemih jika tidak
dikosongkan urin yang tertampung dalam vesika. Pengurangan ini bisa dilakukan
dengan dua cara yaitu dilakukan tindakan medis pungsi dan pemasangan kateter.
Sesuai jurnal yang diajukan berhubungan dengan kasus yang dihadapi pada pasien
IGD di RSUD Saras Husada yaitu terjadi sumbatan pada uretra pasien post op hari
ke 40. Tindakan keperawatan yang dilakukan yaitu pemasangan kateter pada pasien
tersebut. Pasien tersebut pertama kali dipasang kateter dengan nomor 16 tidak
bisa masuk karena ada tekanan dari dalam. Kemudian diganti kateter nomor 8
tetap saja tidak bisa masuk. Kemudian ketiga kalinya dipasang kateter no 18 dan
bisa masuk. Rasional keberhasialan pemakaian kateter no 18 adalah kateter lebih
besar mempunyai kekuatan untuk memberikan dorongan pada rongga uretra yang
terhimpit oleh prostat dari pada ukuran yang lebih kecil. Pada saat proses
dipasang kateter dari kesemuanya pasien merasa sakit. Adanya rasa sakit
tersebut adalah tanda adanya suatu hal yang tidak normal. Hal tersebut bisa
menandakan adaya luka pada dinding uretra. Adanya luka tersebut bias menjadi
jalan masuk bakteri E Coli yang menyebabkan ISK.
2.12.1
Pembahasan
Berdasarkan jurnal ISK akan terjadi apabila terpasang kateter menetap selama lebih dari 3
hari mendukung 25% kejadian. Pada tindakan pemasangan kateter juga akan menjadi
faktor pendukung terjadinya ISK. Pada pasien ini hendaknya dilakukan perawatan
kateter dan pergantian
kateter pada waktu yang tepat, karena untuk mengurangi terjadinya ISK. Menurut kelompok kami,
hal ini merupakan malpraktik dalam tindakan keperawatan. Karena perawat tidak
melakukan tugas yang sebagaimana mestinya. Tugas perawat disini adalah
melakukan perawatan pada kateter dan memantau jumlah urin yang tertampung
didalam urine bag untuk mencegah resiko infeksi.
2.12.2
Malpraktik
Dari
definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka
menurut ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de
Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Dari definisi
tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian
tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang
tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat
terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena
perikatan dalam transaksi teraputik antara tenagakesehatan dengan pasien adalah
perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan
perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis). Apabila tenaga tenaga
kesehatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan
hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam
membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga kesehatan didakwa
telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan
tenaga kesehatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni
1. Apakah
perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan
perbuatan yang tercela
2. Apakah
perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah
(sengaja, ceroboh atau adanya kelalaian).
Dasar Hukum Penuntutan Ganti Rugi
malpraktek:
1. Pasal
55 Undang-Undang no 23 tahun 1992 tentang Kesehatan (1): Setiap orang
berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan.
2. Pasal
1365 KUH Perdata: Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut.
3. Pasal
1366 KUH Perdata: Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kurang hati-hatinya.
4. Pasal
1367 KUH Perdata: Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
5. Pasal
7 Undang-Undang no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1370 KUH
Perdata: Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang
hati-hatinya seorang, maka suami atau istri yang ditinggalkan, anak atau orang
tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban yang lazimnya
mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut suatu ganti
rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak serta
menurut keadaan.
6. Pasal
1371 KUH Perdata: Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan
sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk
selain penggantian biaya-biaya kesembuhan, menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai
menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan.
7. Pasal
1372 KUH Perdata: Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan
mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.
Di Bidang Pidana Juga Ditemukan Pasal-Pasal
yang Menyangkut Kelalaian, Yaitu:
1. Pasal
359 KUHP: Barang siapa karena kesalahannya (kelalaiannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
2. Pasal
360 KUHP: Barang siapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan
orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana paling lama lima
tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Barang siapa karena kesalahannya
(kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul
penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama
waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat
ribu lima ratus rupiah.
3. Pasal
361 KUHP: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga
dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana
dilakukan kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.
2.13 Masalah Penelitian
HUBUNGAN FREKUENSI SEKSUAL TERHADAP KEJADIAN BPH DI
RUMAHSAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN KEBUMEN
Tri
sujiyati, Handoyo, Safrudin Agus Nur Salim, Jurusan Keperawatan Stikes
Muhammadiyah Gombong 2 Prodi Kperawatan Purwokero
ABSTRACT
Currently, the
increasing of BPH (Benigna Prostat Hypertrofy) incident is caused by many
faktors, such as, age, diet and ras. However other factors could predict caused
of BPH such as sexual frequency. Therefore, this research focus on the incident
of BPH towards sexual frequency. The objective of research was to find out
correlation between sexual frequency with BPH incident in General Hospital,
Kebumen regency.
The design used
in the research was deskriptif quantitatif design with cross sectional
approach. The samples of the study were 24 respondents with inclusion and
exclusion criteria. The date were analized by using product moment test to find
out wether there was correlation between the variables. Research finding showed
that probability (sig) 0,455>0,05 and coefisien correlation is -0,160, it
could be concluded there was no significant correlation between sexual
frequency with BPH incident in General Hospital, Kebumen Regency
Keywords : BPH. Sexsual frequency
PENDAHULUAN
Pada tahun 2005
Rochani mengemukakan insidensi Benigna Prostat Hipertropi (BPH) di Indonesia
cukup banyak, sekitar 24-30 persen dari kasus urologi yang dirawat di beberapa
Rumah Sakit. Dalam rentang 1994-1997 misalnya, RS Cipto Mangunkusumo menangani
462 kasus, dan kasus di RS Hasan Sadikin Bandung selama kurun 1976-1985
tercatat menangani 1.185 kasus. Sementara pada tahun 1993-2002, tercatat 1.038
kasus. Di RS Dr. Soetomo Surabaya terdapat 1.948 kasus BPH pada periode
1993-2002 dan RS Sumber Waras sebanyak 617 pada rentang waktu itu juga.
Menurut (Tobing,
2004), pembesaran prostat akan timbul seiring dengan bertambahnya usia. Sebab
BPH erat kaitannya dengan proses penuaan. Sekitar 30 persen penderita BPH
adalah pria yang berumur 40 tahunan. Sedangkan 50 hingga 75 persen penderita
berumur 80 tahunan. BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar
prostat membesar, memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran keluar urin, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Penyebabnya
tidak pasti, tetapi bukti-bukti menunjukan adanya keterlibatan hormonal,
(Baugman, 2000).
Menurut (Jong,
1997), dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron
dan estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Prostat sudah
dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya
sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut
diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.Menurut (Weineth, 1992),
Prostat adalah organ yang bergantung kepada pengaruh endokrin, dapat dianggap
imbangannya dengan payudara pada wanita. Pengetahuan mengenai sifat endokrin
ini masih belum pasti, tetapi pada pengebirian kelenjar prostat jelas akan
mengecil. Prostat dipengaruhi oleh hormon androgen, ternyata bagian yang
sensitive terhadap androgen adalah bagian perifer, sedangkan yang sensitive
terhadap estrogen adalah bagian tengah. Karena itu pada orang tua bagian tengahlah
yang mengalami hiperplasia, oleh karena sekresi androgen yang berkurang
sedangkan estrogen bertambah secara relatif ataupun absolut.
Menurut (Yatim,
2004), kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan
resiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yaitu dihydrotestosteron
(DHT) oleh enzim 5 alpha-reductase, yang memegang peran penting dalam proses
pertumbuhan sel-sel prostat.
Hubungan Seksual
adalah penetrasi penis dalam vagina dengan disertai pengeluaran cairan sement
dan sperma. Pengaluaran cairan sement dan sperma yang di dalamnya juga
terkandung hormon testosteron, akan menurunkan kadar hormon testosteron dalam
tubuh. Penurunan ini segera dilakukan pemenuhan kembali dengan produksi hormon
testosteron dalam testis. Bila testosteron tidak terdapat dalam tubuh maka akan
diubah menjadi androgen yaitu dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5
alpha-reductase, yang memegang peran penting dalam proses pertumbuhan sel-sel
prostat.
Kejadian BPH
tahun 2007 di RSUD Kebumen sebanyak 92 pasien. Rata-rata dalam waktu satu bulan
pasien post-operasi BPH di RSUD Kebumen mencapai antara 7- 8 pasien dan
rata-rata pasien berusia lebih dari 60 tahun. Berdasarkan uraian di atas maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ada hubungan tingkat
frekuensi seksual terhadap resiko terjadinya BPH di RSUD Kebumen
METODE
PENELITIAN
Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan pendekatan cross
sectional. Metode cross sectional adalah data yang menunjukan titik waktu
tertentu atau pengumpulannya dilakukan dalam waktu yang bersamaan (Handoko,
2006). Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan pada pasien Benigna
Prostat Hipertropi (BPH) di RSUD Kebumen.Sedangkan data sekunder adalah data
yang diperoleh dari catatan medis dan perawat ruang teratai. Populasi adalah
keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini
adalah klien dengan post-operasi BPH di RSUD Kebumen. Besar populasi pada tahun
2007 sebanyak 92 pasien.Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang
diteliti (Arikunto, 2006). Sampel yang ditentukan dalam penelitian ini adalah
pasien BPH yang sedang menjalankan program pengobatan dan perawatan di RSUD
Kebumen. Pengumpulan data menggunakan random sampling. Jumlah sampel yang
dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu cara pengambilannya dengan cara mencampur
subjek-subjek di dalam populasi sehingga semua subjek dianggap sama. Apabila
subjeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya
merupakan penelitian populasi. Tetapi, jika subjeknya besar dapat diambil
antara 10-15% atau 20-25% atau lebih (Arikunto, 2006). Dalam penelitian ini
sampel yang diambil adalah 25% dari 92 yaitu sebanyak 24 responden. Untuk
menguji ubungan antara frekwensi sexual dengan kejadian BPH digunakan uji
Product Moment
HASIL
PENELITIAN DAN BAHASAN
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di RSUD Kebumen diperoleh hasil sebagai berikut :
Hubungan Frekuensi Seksual Terhadap
Kejadian BPH
Untuk mengetahui
hubungan frekuensi seksual terhadap resiko terjadinya BPH di RSUD Kebumen
digunakan uji korelasi product moment. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1.
Hubungan antara frekuensi seksual terhadap kejadian BPH di RSUD Kebumen (n=24)
Variabel
|
M
|
N
|
r
|
P
|
Frekuensi
hubungan seksual
|
1,50
|
24
|
-0,16
|
0,455
|
Kejadian BPH
|
0,5
|
Berdasarkan
Tabel 1 hasil uji statistik korelasi product moment dengan Program SPSS
diperoleh koefisien korelasi antara frekuensi seksual terhadap kejadian BPH di
RSUD Kebumen sebesar -0,160. dengan melihat nilai probabilitas (Sig) 0,455 >
0,05, artinya Ho diterima dan Ha ditolak berarti tidak ada hubungan, dan angka
koefisien korelasi sebesar -0,160 sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan
kedua variabel tidak signifikan, artinya tidak ada hubungan antara frekuensi
seksual terhadap kejadian BPH di RSUD Kebumen. Penelitian yang dilakukan di
RSUD Kebumen tentang hubungan frekuensi seksual terhadap kejadian BPH di Rumah
Sakit Umum Daerah Kabupaten Kebumen dengan 24 responden yang memenuhi kriteria
inklusi.
Hubungan
Frekuensi Seksual Terhadap Kejadian BPH RSUD Kebumen
Berdasarkan
Tabel 4.5 hasil uji statistik korelasi product moment nilai probabilitas (Sig)
0,455 > 0,05 dan angka koefisien korelasi sebesar -0,160 sehingga dapat
disimpulkan bahwa hubungan kedua variabel tidak signifikan, artinya tidak ada hubungan
antara frekuensi seksual terhadap kejadian BPH di RSUD Kebumen. hal ini dapat
disebabkan oleh faktor lain seperti : usia, ras, riwayat keluarga dan
diet. Hal ini sejalan dengan pendapat (Yatim, 2004) bahwa semakin lanjut usia,
semakin beresiko terjadinya BPH. Pada lakilaki usia 50 tahun, sekitar 33% diperkirakan
memiliki tumor prostat kecil, dan pada usia 80 tahun sekitar 70%. Pada usia tua
hormon testosteron dan androgen yang meningkat dapat meningkatkan resiko BPH.
Ras yaitu: orang dari ras kulit hitam memiliki resiko 2 kali lebih besar untuk
terjadi BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insiden BPH yang
paling rendah. Serta faktor keturunan. Serta sering mengkonsumsi makanan yang
mengandung lemak jenuh yang tinggi (terutama lemak hewani) dan kurang
mengandung serat akan meningkatkan resiko terkena BPH. Hal ini tidak sejalan
dengan pendapat (Baugman,2000) bahwa BPH disebabkan adanya keterlibatan
hormonal , jika seseorang sering melakukan hubungan seksual maka kemungkinan
kecil beresiko terjadi BPH, tetapi jika seseorang tidak pernah melakukan
hubungan seksual maka kemungkinan besar beresiko terjadinya BPH. Berdasarkan
Tabel 1 diperoleh responden yang paling sering melakukan hubungan seksual 3
kali dalam waktu 1 Minggu sebanyak 2 orang, hal itu dikarenakan orang itu
mempunyai gairah seksual yang tinggi dan belum mengalami penurunan ereksi.
Sesuai pendapat
(wimpie,2001) kebutuhan seksual normal dalam satu Minggu untuk pasangan suami
istri yaitu, tergantung kemauan dan kemampuan masing-masing pasangan. Hal ini
juga sejalan dengan pendapat (Miller, 1990) bahwa dorongan libido yang bisa
menentukan intensitas hubungan seks. Sependapat juga dengan (Henny, 2008) bahwa
tak ada aturan yang mengharuskan seseorang harus melakukan hubungan intim sehari
atau seminggu berapa kali. Semuanya itu tergantung dari komunikasi dari
masing-masing pasangan. Sedangkan responden yang tidak melakukan hubungan
seksual dalam waktu 1 Minggu sebanyak 4 orang, hal ini disebabkan oleh
penurunannya gairah seksual serta mengalami penurunan ereksi. Hal ini sejalan
dengan pendapat (Kartari,2001) bahwa, masalah seksual bisa disebabkan oleh
faktor fisik dan psikis yang bergabung menjadi satu. Faktor fisik berupa
kemunduran fisik karena usia yang terjadi pada semua bagian tubuh, khususnya
yang berkaitan dengan fungsi hormon seks, pembuluh darah, dan saraf. Faktor
fisik yang menghambat fungsi seksual kerap muncul pada usia lanjut, seperti
perasaan jemu dengan situasi sehari-hari, khususnya dalam hubungan dengan
pasangan, perasaan kehilangan kemampuan seksual dan daya tarik, perasaan
kesepian, dan perasaan takut dianggap tidak wajar bila masih aktif melakukan
hubungan seksual.
Di lihat dari
frekuensi hubungan seksual negatif BPH>positif BPH. Hal ini dimungkinkan
dengan hubungan sex lebih tinggi dapat menurunkan kejadian BPH, sesuai pendapat
(Miller, 1990) bahwa pada usia lebih 50 tahun ke atas sering melakukan hubungan
seksual dapat menurunkan kejadian BPH. Walaupun hasil dari penelitian
menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
BPH
(Benigna Prostat Hyperplasia) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
yang dapat menyebabkan obstruksi dan ritriksi pada jalan urine (uretra)
(Margareth dan M.Clavo,2012).
Secara
umum penyebab BPH adalah dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan
keseimbangan testoteron dan estrogen, karena produksi testoteron menurun dan
terjadi konversi testoteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hiperplasia prostat adalah teori hormonal, teori growth factor (factor
prtumbuhan), teori peningkatan lama hidup sel – sel prostat karena berkurangnya
sel yang mati, teori sel stem, teori dihydo testosterone (DHT), teori
reawakening.
Derajat
berat gejala klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada
colok dubur dan sisa volume urin. Didalam praktek pembagian besar prostat
derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan (Sjamsuhidajat, R dan
Wim Long, 1997).
3.2
Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan diharapkan dapat memahami dan mengetahui penyebab, bahaya serta cara pencegahan yang
ditimbulkan dari BPH sehingga dalam melakukan tindakan keperawatan di masa
mendatang dapat memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar asuhan
keperawatan yang sudah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Rendy,
M Clevo dan Margareth. 2012.Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam.Yogjakarta : Nuha Medika
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 1997.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta:EGC
Sabiston, David
C.1994.Hipertrofi Prostat
Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2.Jakarta
: EGC
Katzung, Bertram
G.1997.Farmakologi
Dasar dan Klinik edisi VI.Jakarta : EGC
Arikunto,
S.2006. Prosedur Penelitian Suatu
Pendidikan Praktik.Jakarta : Rineka cipta.
Dinkes
Jateng.2006.Pedoman Pelaksanaan Desa
Siaga di Jawa Tengah.Jateng.
Effendy,
Nasrul.1995. Perawatan Kesehatan
Masyarakat.Jakarta : EGC.
Effendi,
Sofian.1991. Metode Penelitian
Survai.Jakarta : LP3ES.
Hidayat, Alimul
Aziz. 2009. Metode
Penelitian Kebidanan & Teknik Analisa Data.Jakarta
: Salemba Medika.
Kusumawati,
Anike.2003.Gambaran Pondok Bersalin Desa (POLINDES) Dan Pemanfaatannnya Oleh
Masyarakat Di Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Yogyakarta : UGM.
Matono.2007.Management Control.Tegal : Puskesmas
Dukuhturi. Desember
23rd, at10:59
pm
Nuryati, Iin.
2006. Pengetahuan Ibu Tentang Kehamilan
Resiko Tinggi di Polindes Kemuning Desa Tasikmadu Kecamatan Palang Tuban. AKBID NU : Tuban.
Notoatmodjo,
Soekidjo.2003.Ilmu Kesehatan Masyarakat
(Prinsip-Prinsip Dasar). Jakarta : Rineka cipta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Currently have 0 komentar: