Selasa, 15 Oktober 2013
MAKALAH KEPERAWATAN
SISTEM PERKEMIHAN II
“PENATALAKSANAAN
ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN
NEFROSKLEROSIS”
Oleh:
Kelompok
7
1. Cyntya Putri I. (101.0017)
2. Elly Elvira (101.0035)
3. Jeffry Chairdiansyah (101.0055)
4. Najmi Layalia (101.0075)
5. Rinda Mustika N. (101.0095)
6. Rizky Amelia (101.0099)
SEKOLAH TINGGI
ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2013
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Hipertensi
merupakan faktor resiko utama bagi terjadinya serangan penyakit pembuluh darah
lainnya. Namun sebagian besar masyarakat belum menyadari bahwa hipertensi juga
memiliki kaitan erat dengan kesehatan ginjal. Penyakit ginjal merupakan masalah
kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
Saat ini
hipertensi diderita oleh lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia. Sekitar
10-30% penduduk dewasa di hampir semua negara mengalami hipertensi. Dari 4.000
penderita hipertensi, sekitar 17 persen di antaranya juga menyumbang penyakit
gagal ginjal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurlaili Farida Muhajir
2010, seseorang dengan hipertensi mempunyai kemungkinan untuk sakit Gagal
Ginjal Kronik 16,000 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak
hipertensi.Untuk penyakit ginjal kronik, peningkatan terjadi sekitar 2-3 kali
lipat dari tahun sebelumnya.
Penyakit
ginjal yang disebabkan karena hipertensi disebut nefrosklerosis hipertensi
adalah penyakit ginjal yang disebabkan karena terjadinya kerusakan
vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah akut maupun
kronik. Nefropati hipertensi terbagi menjadi dua yakni nefropati hipertensi
benigna (Neproskelerosis benigna) dan nefropati hipertensi maligna
(nefrosklerosis maligna).
Untuk
memperlambat progresifitas kerusakan ginjal akibat hipertensi, penatalaksanaan
perlu dilakukan dengan cermat. Pemakaian obat antihipertensi, disamping untuk
memperkecil risiko kardiovaskuler juga sangat penting memperlambat pemburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi
glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah
mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein dalam
memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
1.2 Tujuan
1.2.1
Tujuan
Umum
Setelah
menyelesaikan proses pembelajaran mahasiswa diharapkan mampu mempraktekkan pengelolaan
pelayanan keperawatan secara profesional dan mahasiswa dapat menerapkan
konsep dasar dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien khususnya pada kasus Nefrosklerosis.
1.2.2
Tujuan
Khusus
1)
Mengetahui konsep dasar Nefrosklerosis
2)
Mengetahui asuhan keperawatan pada
Nefrosklerosis
3)
Memahami dan mengetahui
malpratek/dilematik yang terjadi pada kasus Nefrosklerosis
4)
Memahami dan mengetahui masalah
penelitian pada kasus Nefrosklerosis
1.3
Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah
ini diharapkan nantinya mahasiswa mampu memahami dan mengerti tentang konsep
dasar dari penyakit Nefrosklerosis beserta bagaimana Asuhan keperawatan yang
sesuai pada klien dengan penyakit Nefrosklerosis.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah suatu
keadaan dimana dijumpai tekanan darah lebih dari140/90mmHg atau lebih untuk
usia 13-50 tahun dan tekanan darah mencapai 160/95mmHg untuk usia diatas 50
tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali
untuk lebih memastikan keadaan tersebut (WHO, 2001).
Hipertensi dapat diartikan
sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan darahnya diatas 140/90mmHg. Pada
manula hipertensi disefinisikan sebagai tekanan sistoliknya 160mmHg dan tekanan
diastoliknya 90 mmHg(Brunner dan Suddart,2002).
Hipertensi adalah suatu
keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri
menyebabkan meningkatanya resiko terhadap stroke, gagal jantung, serangan
jantung, dan kerusakan ginjal (Faqih, 2006).
Hipertensi adalah
keadaan dimana tekanan arteri rata-rata lebih tinggi daripada batas atas yang
dianggap normal yaitu 140/90 mmHg (Guyton dan Hall, 2001). Hipertensi dapat didefinisikan sebagai peningkatan
tekanan darah sistolik sedikitnya 140mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90
mmHg (Sylvia Price, 2005).
Dari definisi-definisi
diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi adalah suatu keadaan dimana
tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik lebih dari 140/90 mmHg,
dimana sudah dilakukan tekanan darah minimal dua kali untuk memastikan keadaan
hipertensi tersebut. Hipertensi dapat menimbulkan resiko terhadap penyakit
stroke, gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal.
2.2
Defenisi
Nefrosklerosis
Secara sederhana, nefrosklerosis diartikan sebagai pengerasan
ginjal. Kata ini diperkenalkan oleh Theodor Fahr lebih dari satu abad yang
lalu. Secara terminologi, nefrosklerosis hipertensif diartikan sebagai
nefrosklerosis benigna, dengan ditemukannya kerusakan pada arteriola arkuata,
interlobular, serta arteriola aferen dan eferen. Gambaran histopatologi
ditandai adanya hialinoisis arteriolar dan hipertrofi otot vaskular.
Nefrosklerosis
adalah pengerasan atau sklerosis arteri ginjal akibat hipertensi yang lama.Penyakit
ini menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan bercak nekrosis parenkim
renal. Kadang-kadang terjadi fibrosis dan
kerusakan glomerulus.
Istilah nefrosklerosis hipertensif
sebenarnya telah lama digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom klinis yang
ditandai dengan adanya riwayat hipertensi esensial lama, retinopati hipertensi,
hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria minimal, dan insufi siensi renal yang
progresif.
Nefrosklerosis
hipertensi adalah penyakit ginjal yang disebabkan karena terjadinya kerusakan
vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah. Nefrosklerosis
yang terjadi akibat hipertensi (nefrosklerosis hipertensive) terbagi menjadi
dua yakni Neproskelerosis benigna dan nefrosklerosis maligna.
2.3
Etiologi
Nefrosklerosis maligna
merupakan suatu keadaan yang lebih berat, yang terjadi bersamaan dengan
hipertensi maligna. Hipertensi maligna paling sering terjadi akibat tekanan
darah tinggi yang tidak terkendali, tetapi juga bisa terjadi akibat :
- Glomerulonefritis
- Gagal
ginjal kronis
- Penyempitan
arteri renalis (hipertensi vaskuler renalis)
- Peradangan
pembuluh darah ginjal (vaskulitis renalis)
Nefrosklerosis benigna
biasanya ditemukan pada dewasa lanjut. Penyebabnya dikarenakan nefrosklerosis
benigna ini sering dihubungkan dengan arterisklerosis/usia tua dan hipertensi
2.4
Klasifikasi
dan Manifestasi Klinis Nefrosklerosis
Terdapat dua bentuk nefrosklerosis :
a. Nefrosklerosis
maligna
Nefrosklerosis ganas
terjadi pada hipertensi maligna. Komplikasi ini terjadi pada sekitar 5% pasien
hipertensi. Sering dihubungkan dengan hipertensi maligna (tekanan darah
diastolik > 130 mm Hg). Hal ini biasanya terjadi pada dewasa muda,dan pria
terkena dua kali lipat lebih sering dari pada wanita. Proses penyakit
berkembang cepat dan lebih dari 50% pasien meninggal akibat uremia dalam
beberapa tahun.
Ginjal berukuran normal
atau sedikit membesar dan mempunyai permukaan yang licin dengan banyak
perdarahan petekia kecil. Secara mikroskopis, terdapat nekrosis fibrinoid
(nekrosis fibrinoid tampak sebagai bahan granular merah muda yang tampak dengan
imunofluoresen) arteriol dan glomerulus. Arteri interlobus memperlihatkan
proliferasi selular intimal dan fibrosis yang berlapis-lapis (kulit bawang).
Penyempitan lumen menyebabkan iskemia.
Secara klinis,
nefrosklerosis ganas bermanifestasi sebagai proteinuria dan hematuria,yang
kemudian dengan cepat diikuti oleh gagal ginjal akut. Tanpa pengobatan, 90%
pasien meninggal dalam satu tahun. Dengan pengobatan anti hipertensi modern,
lebih dari 60% pasien dapat bertahan hidup selama 5 tahun setelah diagnosis.
b. Nefrosklerosis
benigna
Neproskelerosis benigna adalah kerusakan
vaskularisasi pada ginjal yang disebabkan karena peningkatan tekanan darah yang
menetap (hipertensi stage 2) baik primer maupun sekunder dalam kurun waktu
lebih dari 3 bulan dengan LFG < 60 mL/menit/1,73m2 .
Nefrosklerosis jinak
terjadi pada sebagian besar pasien hipertensi esensial. Perubahan serupa tampak
pada autopsi pasien usia lanjut tanpa hipertensi, akibat proses penuaan.
Terdapat pengurangan ukuran ginjal yang simetris bilateral. Permukaan ginjal
bergranular merata halus dan terjadi penipisan yang seragam pada korteks
ginjal. Secara mikroskopis, terdapat penebalan hialin dinding arteri kecil dan
arteriol (penyempitan lumen pembuluh darah ini menyebabkan iskemia glomerulus
kronis), sklerosis global pada glomerulus, dan atrofi nefron dengan fibrosis
intertisial. Dengan imunofloresensi dan mikroskop elektron tidak tampak adanya
bukti deposit imun. Perubahan nefrosklerosis jinak biasanya ringan. Gagal
ginjal kronis terjadi kurang dari 5% kasus.
Gejalanya pasien
dengan nefrosklerosis benigna jarang mengeluh gejala renal, gejala yang muncul
:
-
Proteinuria ringan
-
Nokturia
2.5 Patogenesis
Patogenesis NH (Nefrosklerosis Hipertensi) belum
sepenuhnya dipahami. Ada banyak faktor yang berperan seperti mekanisme
autoregulasi yang tidak adekuat sehingga tidak mampu mempertahankan homeostasis
tubuloglomerular feedback dan tekanan Sintraglomerular, adanya iskemi glomerular,
hemodinamik glomerular, dan peranan angiotensin II intraglomerular.
Hipertensi sendiri dapat merupakan penyebab progresivitas
kerusakan fungsi ginjal atau juga sebaliknya, yakni dapat merupakan faktor penyebab
sekunder PGK. Hubungan erat ini tampak jelas melalui evaluasi progresivitas penderita
PGK; akan dijumpai perlambatan di kelompok dengan pencapaian target penurunan
tekanan darah yang lebih rendah. Secara ringkas, patogenesis hipertensi menyebabkan
kerusakan ginjal.
Mekanisme Autoregulasi
Kapiler
A.
Glomerulus Normal
Tekanan
glomerular dipengaruhi oleh tiga faktor yakni tekanan arteri rerata (mean arterial pressure – MAP) atau tekanan perfusi, dan
resistensi relatif dari kedua arteriole yakni aferen dan eferen. Pada kondisi normal, tekanan darah
sistemik yang mengalami peningkatan secara episodik ataupun kontinyu tidak
berakibat banyak pada mikrovaskular glomerular. Hal ini karena adanya
perlindungan oleh suatu mekanisme autoregulasi dengan vasokonstriksi arteriole
aferen (preglomerular)untuk mempertahankan renal blod fl ow dan agar
tekanan hidrostatik intraglomerular dalam keadaan relatif konstan. Respons awal
terhadap peningkatan MAP adalah peningkatan resistensi arteriol aferen (RA) untuk
mencegah diteruskannya tekanan sistemik yang tinggi ke dalam kapiler glomerula.
Gambar .autoregulasi
glomerular ginjal yang sehat A.Baseline B.
Peningkatan tekanan perfusi
Resistensi
arteriol eferen (RE) akan menurun dan menyebabkan dekompresi pada glomerulus.
Hal ini berguna untuk membatasi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler glomerular
(glomerular capillary hydraulic pressure – PGC) dan untuk
mempertahankan aliran plasma renal (renal plasma fl ow) dalam kondisi
konstan.
B.
Kegagalan Mekanisme Autoregulasi Kapiler
Glomerulus pada Nefrosklerosis Hipertensif
Jika MAP
berada sedikit di atas batas autoregulasi, yang terjadi adalah nefrosklerosis benigna,
namun akselerasi peningkatan tekanan darah yang mendadak mengakibatkan terjadinya
nefrosklerosis maligna. Pada hipertensi, mekanisme autoregulasi dan fungsi endotel
dalam memproduksi nitric oxide (NO) yang masih normal dan intak terhadap
shear stress akan mampu mempertahankan tekanan intraglomerular
dalam keadaan normal sehingga penurunan fungsi ginjal menjadi sangat lambat.
Kompensasi yang terjadi dari sisa-sisa glomerulus terjadi melalui mekanisme adaptasi
yakni dengan meningkatkan laju filtrasi glomerulus. Resistensi arteriol baik
pada aferen dan eferen akan mengalami penurunan yang akan menyebabkan
peningkatan aliran plasma renal dan laju filtrasi glomerular.
Pada kondisi
ini, peningkatan tekanan MAP akan diteruskan langsung ke dalam kapiler glomerular
mengakibatkan terjadinya hipertensi glomerular, peningkatan filtrasi protein,
dan merangsang pelepasan sitokin dan growth factor yang akan menyebabkan
jejas pada kapiler.
Hipertensi
yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol aferen dan
eferen yang telah menyempit akibat perubahan struktur mikrovaskuler. Kondisi
ini akan menyebabkan iskemi glomerular dan mengaktivasi respons infl amasi.
Hasilnya, akan terjadi pelepasan mediator infl amasi, endotelin, dan aktivasi angiotensin
II (AII) intrarenal. Kondisi ini pada akhirnya akan mengaktivasi apoptosis, meningkatkan
produksi matriks dan deposit pada mikrovaskular glomerulus dan terjadilah sklerosis
glomerulus atau nefrosklerosis
Gambar. Mekanisme autoregulasi glomerular pada
kerusakan ginjal A.Baseline
B. Peningkatan tekanan perfusi
C.
Iskemia
Glomerular
Pada hipertensi, nefron yang masih sehat akan melakukan
kompensasi dengan melakukan vasodilatasi aferen diikuti peningkatan tekanan intraglomerular
(hipertensi glomerular dan hiperfi ltrasi glomerular) disertai proteinuria masif,
yang pada akhirnya akan menyebabkan nefrosklerosis hipertensif dan berujung pada
PGKT. Struktur arteri aferen berubah, terjadi wrinkling
collaps dan
sklerosis global pada membran basal glomerulus sehingga arteriol menjadi tidak
intak. Konsekuensi hipertensi kronik akan berakibat terjadinya jejas
mikrovaskular, iskemia, dan hipertrofi kapiler glomerular.
Penyempitan arteri dan arteriol aferen berakibat aliran darah menuju
glomerulus menjadi berkurang sehingga terjadi iskemia glomerular dan glomerulosklerosis.
Iskemia glomerular menurunkan aliran plasma pasca glomerular yang akan memicu
iskemia tubular, dan kemudian mengaktivasi endotelin, TGF-β yang mengakibatkan
sklerosis glomerular, tubulointerstisial atau nefrosklerosis. Ringkasan
patogenesis nefrosklerosis hipertensif dalam gambar di bawah ini.
2.6 Histopatologi
Gambaran
histopatologi pada NH ditandai dengan adanya hialinosis arteriolar dan hipertrofi
otot vaskular. Hialinosis diartikan sebagai lesi yang mengandung bahan
aselular, tidak berstruktur, terdiri atas glikoprotein dan kadang-kadang
meleburkan lipid. Secara umum, pada NH terjadi perubahan histologi vaskuler,
glomerular dan tubulointerstitial. Perubahan vaskuler berupa hipertrofi medial
dan penebalan fibroplastik intimal yang menyebabkan penyempitan lumen vaskuler
arteri renalis dan arteriol glomerular, dan deposisi materi hialin pada dinding
arteriol. Perubahan glomerular berupa fokal global dan fokal segmental
sklerosis sedangkan perubahan pada tubulointerstitial berupa atrofi atau
dilatasi tubulus.
Gambaran
histopatologi NH pada bentuk benigna maupun maligna dikenal sebagai hiperplasia
miointimal interlobular dan pembuluh arteriolar aferen, hialinisasi arteriosklerosis,
pengerutan glomerulus dan berakhir dengan glomerulosklerosis global. Perubahan-perubahan
ini terjadi akibat iskemia glomerular yang disebabkan oleh penyempitan arteriol
aferen.
1) Hialinosis arteriol dan arteri
interlobular dengan penebalan tunika media disebabkan oleh hipertrofi dan
hiperplasia otot polos vaskular, material hialin akibat insudasi protein plasma
pada dinding arteriolar, berwarna cerah pada pengecatan PAS. Besarnya insudasi protein
plasma diikuti dengan penyempitan
lumen arteriol. Hialinosis arteriol
aferen merupakan penanda kerusakan ginjal pada hipertensi esensial, deposit
hialin ditemukan pada otot polos arteriol yang mengalami atrofi sehingga memengaruhi
tekanan lumen arteriol dengan akibat permeabilitas endotel meningkat dan meningkatkan
insudasi protein plasma.
2) Hipertrofi miointima (fi
broplastic intimal thickening) pada pembuluh darah interlobular dan
arteriol berakibat penyempitan lumen arteriolar dan arteria
interlobaris, selanjutnya ‘wrinkling collaps’ dari glomerular
tuft dan glomerulosclerosis. Kerusakan mikrovaskular ditentukan
oleh skor proliferasi miointima. Ditemukan penebalan fibroelastik dengan
pembentukan jaringan ikat pada tunika media arteriol aferen.
Penelitian morfometrik melaporkan bahwa NH akibat hipertensi esensial
berkorelasi antara volume insterstitial, clearance
creatinine, dengan hiperplasi muscular arteriol,
dan tidak berkorelasi dengan hialinosis arteriol atau oleh penebalan
arteriol interlobar.
Gambar.Nefrosklerosis benigna
menunjukkan adanya sklerosis glomerulus komplit (kiri atas): hanya bersisa dua
glomerulus yang mengecil; perhatikan juga adanya atrofi tubular dan dilatasi
dengan silinder hialin intratubular (gambar panah); perubahan-perubahan ini
terjadi akibat iskemia yang disebabkan oleh penebalan arterial dan arteriolar
(tidak ditunjukkan)
Gambar Proliferasi
fi brointimal arteri arkuata (pewarnaan periodic acid Schiff , pembesaran 150X)
2.7
WOC
2.8
Diagnosa
Secara
klinis, nefrosklerosis hipertensif ditandai dengan adanya riwayat hipertensi lama
dengan retinopati hipertensif derajat I atau II, adanya hipertrofi ventrikel
kiri jantung, sedimen urin normal dan proteinuria kurang dari 1 gram per 24
jam. Adanya PGK dengan nilai kreatinin > 1.8 mg/dL atau creatinine clearance
<40 mL/menit/1,73m2 serta USG ginjal menunjukkan ginjal mengecil dan
bentuk iregular dapat membantu mengarahkan ke diagnosis NH.
Secara
klinik patologis, terdapat dua kelompok NH, yakni nefrosklerosis benigna dan
nefrosklerosis maligna. Nefrosklerosis, nefrosklerosis benigna, dan penyakit
ginjal hipertensif merupakan terminologi yang dipakai para klinisi bilamana
kerusakan ginjal dianggap terjadi akibat hipertensi esensial.
Gambaran
histopatologi meliputi perubahan mikrovaskular berupa hialinosis dinding pembuluh
darah preglomerular, penebalan tunika intima dan duplikasi internal elastic lamina
arkuata dan arteri interlobaris dan akhirnya berlanjut dengan kerusakan glomerulus
berupa glomerulosklerosis, atrofi tubulus, dan fibrosis interstitialis. Bentuk
lain adalah NH maligna, keadaan ini berkaitan dengan terjadinya akselerasi tekanan
darah atau hipertensi maligna yang ditandai dengan terbentuknya nekrosis fibrinoid
dan hiperplasia miointima yang bila tidak cepat diatasi akan berakibat
kerusakan ginjal progresif. Nefrosklerosis maligna akhir-akhir ini makin
berkurang dengan kemajuan pengelolaan obat-obat antihipertensi.
Biopsi
ginjal merupakan kunci diagnosis NH. Peranan biopsi ginjal pada nefrosklerosis hipertensif
serupa dengan kondisi pada nefropati diabetik. Biopsi ginjal hanya dilakukan pada
keadaan tertentu saja yakni pada penderita yang tidak mengalami akselerasi hipertensi
atau riwayat hipertensi yang lama disertai dengan kadar serum kreatinin kurang dari
2,5 mg/dL dan proteinuria lebih dari 1.500 mg per 24 jam meski ada juga yang menyebutkan
proteinuria dapat kurang dari 500 mg/24 jam.
2.9
Penatalaksanaan
Peningkatan
tekanan darah sudah terbukti mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Penurunan
tekanan darah merupakan kunci utama dalam mencegah progresi penurunan fungsi
ginjal pada NH. Namun yang sering menjadi pertanyaan adalah berapa target penurunan
tekanan darah dan jenis obat apa yang terbaik.
Hingga saat ini, penatalaksanaan NH masih mengacu pada
penelitian AASK (African American Study of Kidney Disease and Hypertension).
AASK meneliti 1094 orang ras Afrika-Amerika yang hipertensi kronik dengan
gangguan fungsi ginjal yang tidak dapat dijelaskan sebabnya serta adanya proteinuria
ringan berkisar 500 – 600 mg per hari.
Digunakan tiga obat antihipertensi yaitu ramipril, metoprolol
dan amlodipin. Target penurunan tekanan darah adalah 125/75 mmHg atau 140/90
mmHg. Sasaran primer pada akhir penelitian ini adalah perubahan LFG yakni saat
pertama terjadi penurunan LFG 50% atau LFG 25 ml/menit/1.73 m2; saat terjadi gagal
ginjal; atau saat kematian. Penelitian ini selama 4 tahun, didapatkan rerata
penurunan tekanan darah tertinggi adalah 141/85 mmHg dan rerata penurunan
tekanan darah terendah adalah 128/78 mmHg. Sasaran primer ternyata tidak
berbeda bermakna pada kelompok dengan target 140/90 mmHg atau 125/75 mmHg. Hal
ini menunjukkan bahwa target tekanan darah kurang dari 140/90 mmHg tidak
memberikan hasil lebih baik. Dari segi kelompok jenis obat, ramipril
menunjukkan hasil sasaran primer yang lebih baik bermakna dibanding dengan
metoprolol atau amlodipin.
Metoprolol sendiri tidak berbeda bermakna dengan amlodipin.
Namun setelah 10 tahun penelitian, tidak didapatkan perbedaan bermakna antara
ketiga jenis antihipertensi maupun penurunan tekanan darah serendah mungkin
terhadap progresi penurunan LFG.
Penelitian
lain dalam skala lebih kecil dilakukan oleh Siewer-Delle dkk di Swedia. Diteliti
23 pasien pria dengan hipertensi primer baru dan 11 pasien pria dengan normotensi
dengan usia yang sama. Antihipertensi yang dipakai adalah penyekat beta dan
penambahan hidroklorotiazid jika diperlukan. LFG dinilai pada saat awal, saat 7
tahun dan saat 14 tahun. Setelah 7 tahun penelitian, ternyata didapatkan
penurunan LFG dari 103 ml/menit/1.73m2 menjadi 84 ml/ menit/1.73m2 namun
setelah itu tidak terjadi penurunan LFG sampai dengan tahun ke- 14. Selama 14
tahun penelitian, didapatkan rerata tekanan darah berkisar 139/88 mmHg.
Siewert
menyimpulkan bahwa pada pasien Swedia (ras kulit putih), pengendalian hipertensi
dengan obat konvensional dapat mencegah penurunan fungsi ginjal selama 14
tahun. Disimpulkan bahwa :
(1) Target penurunan tekanan darah pada pasien
dengan nefrosklerosis hipertensif adalah <140/90 mmHg dan,
(2) Semua jenis antihipertensi menunjukkan
hasil yang tidak berbeda dalam
mencegah
progresi penurunan LFG.
2.10
Prognosis
Jika keadaan ini tidak
diobati,sekitar 50% penderita meninggal dalam waktu 6 bulan dan sisanya
meninggal dalam waktu 1 tahun. Sekitar 60% kematian terjadi akibat gagal
ginjal, 20% karena gagal jantung, 20% karena stroke dan 1% karena serangan
jantung (infark miokard).
Menurunkan tekanan
darah dan mengobati gagal ginjal akan menurunkan angka kematian, terutama yang
disebabkan oleh gagal ginjal, gagal jantung dan stroke.
2.11Pencegahan
Pengawasan tekanan
darah secara ketat pada orang-oarang yang cenderung menderita hipetensi akan
menurunkan resiko terjadinya nefrosklerosis. Disertai dengan diit rendah
natrium.
ASUHAN
KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a.
Identitas Klien
b.
Keluhan Utama :
urine berwarna merah
c.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien
mengeluh, urine berwarna merah saat berkemih. Sebelumnya pasien juga, sering
berkemih dimalam hari. Pasien memiliki penyakit hipertensi bertahun-tahun.
d.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Hipertensi lama (derajat I atau II)
B.
Pemeriksaan
fisik
1. Sirkulasi
Gejala : Riwayat
hipertensi lama atau berat
Tanda :
-
Hipertensi, nadi kuat
-
Disritmia jantung.
2. Eliminasi
Gejala
: Penurunan frekuensi urin,nokturia, proteinuria.
Tanda
:
-
Perubahan warna urin, kemerahan.
C.
Pemeriksaan Penunjang
- USG ginjal menunjukkan ginjal mengecil
dan bentuk iregular dapat membantu mengarahkan ke diagnosis NH.
- Biopsi ginjal hanya dilakukan pada
keadaan tertentu saja yakni pada penderita yang tidak mengalami akselerasi
hipertensi atau riwayat hipertensi yang lama disertai dengan kadar serum
kreatinin kurang dari 2,5 mg/dL dan proteinuria lebih dari 1.500 mg per 24 jam
meski ada juga yang menyebutkan proteinuria dapat kurang dari 500 mg/24 jam.
D.
Diagnosa Keperawatan
1.
Perubahan pola
eliminasi berhubungan dengan obstruksi pada srtuktur urinarius.
2.
Kurangnya pengetahuan
tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya sumber informasi.
E. Intervensi
1.
Perubahan pola
eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi pada srtuktur urinarius.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 2x24 jam, Perubahan eliminasi urine dapat teratasi, dengan
Kriteria Hasil:
-
pola eliminasi
membaik,
-
tidak terjadi
gangguan berkemih.
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Awasi pemasukan dan
pengeluaran karakteristik urin.
|
Memberikan
informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi.
|
2.
|
Observasi perubahan
status mental: perilaku atau tingkat kesadaran.
|
Akumulasi sisa
uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada susunan
saraf pusat
|
4.
|
Anjurkan klien
untuk meningkatkan pemasukan cairan.
|
Peningkatan hidrasi
membilas bakteri
|
5.
|
Informasikan kepada
klien dan keluarga klien mengenai penyakit serta pengobatannya.
|
Untuk meningkatkan
kepatuhan klien terhadap pengobatannya.
|
6.
|
Kolaborasi
Awasi pemeriksaan
laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin.
|
Pengawasan
terhadap disfungsi ginjal.
|
2.
Kurangnya pengetahuan
tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya sumber informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama
1x24 jam, Pasien mengetahui tentang penyakitnya dengan
Kriteria Hasil: Menyatakan mengerti tentang kondisi, pemeriksaan
diagnostik, rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif.
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Kaji ulang proses
penyakit dan harapan yang akan datang.
|
Memberikan
pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan berdasarkan informasi.
|
2.
|
Berikan informasi
tentang: sumber infeksi, tindakan untuk mencegah penyebaran, jelaskan
pemberian antibiotik, pemeriksaan diagnostik: tujuan, gambaran singkat,
persiapan yang dibutuhkan sebelum pemeriksaan, perawatan sebelum pemeriksaan,
perawatan sesudah pemeriksaan.
|
Pengetahuan apa
yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan membantu mengembangkan
kepatuhan pasien terhadap rencana terapeutik.
|
3.
|
Pastikan pasien
atau orang terdekat telah menulis perjanjian untuk perawatan lanjut dan
instruksi tertulis untuk perawatan sesudah pemeriksaan.
|
Instruksi verbal
dapat dengan mudah untuk dilupakan.
|
4.
|
Instruksikan pasien
untuk menggunakan obat yang diberikan, minum sebanyak kurang lebih delapan
gelas per hari khususnya sari buah berri.
|
pasien sering
menghentikan obat mereka, jika tanda-tanda penyakit mereda. Cairan menolong
membilas ginjal. Asam piruvat dari sari buah berri membantu mempertahankan
keadaan asam urin dan mencegah pertumbuhan bakteri.
|
5.
|
Berikan kesempatan
pada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan masalah tentang rencana
pengobatan.
|
Untuk mendeteksi
isyarat indikatif kemungkinan ketidakpatuhan dan membantu mengembangkan
penerimaan rencana terapeutik.
|
2.7 Malpraktek
A. Konsep Dasar Malpraktek
Malpraktek
merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi
yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek”
mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti
“pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian
tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya
tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Malpraktek
adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menggunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan
yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance mutuellede los angelos,
california, app.2d 1, 172 P.2d 359,1956).
Kelalaian
adalah sikap kurang hati – hati menurut ukuran wajar. Karena tidak melakukan
apa yang seorang dengan sikap hati – hati yang wajar akan melakukan, atau
sebaliknya melakukan apa yang seorang dengan sikap hati – hati yang wajar tidak
akan melakukan didalam situasi tersebut (Bost v. riley, hammon and catamba
memorial hospital, 1979).
Kelalaian
adalah suatu sikap – tindak yang oleh masyarakat dianggap menimbulkan bahaya
secara tidak wajar dan diklasifikasikan demikian karena :
1. Orang
itu biasa membayangkan atau seharusnya membayangkan bahwa tindakan itu bisa
mengakibatkan orang lain harus menanggung resiko, dan
2. Bahwa
sifat dari risiko itu sedemikian beratnya, sehingga seharusnya ia bertindak
dengan cara yang lebih hati-hati (Keton : medacal negligence – the standard of
care, 1980).
Kelalaian
dirumuskan sebagai “sikap tindak yang jatuh di bawah standard yang ditentukan
oleh hukum untuk perlindungan orang lain terhadap risiko cedera yang sewajarnya
tidak harus terjadi.”
Untuk dapat menuntut penggantian
karena kelalaian,maka penggugat harus dapat membuktikan adanya unsur-unsur
tersebut di bawah ini:
1. Bahwa
adanya suatu kewajiban pada dokter terhadap pasien;
2. Bahwa
dokter itu telah melanggar standard pengobatan yang biasa dipakai;
3. Bahwa
penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti-rugi; dan,
4. Bahwa
secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan yang di bawah standard umum.
Dengan beberapa kecualian,beban
untuk membuktikan adanya unsur-unsur tersebut dibebankan pada penggugat
(Restatement (Second) of Torts,par.282 (1985).
Dalam arti
kriminil, kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih
serius, karena sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat acuh-tak-acuh
terhadap kemungkina timbulnya risiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka
atau mati, sehingga bertanggung jawab terhadap tuntutan kriminil oleh negara (R
v. Bateman, 1925, 19 Criminal Appeal Reports 8. Akere v. The King, 1943, Appeal
Case 225 (Privy Ccouncil).
B.
Malpraktek Menurut Hukum
Berlakunya norma
etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk
profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu
apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau
dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari
sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang
hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat
dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga
apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena
antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk
menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan
sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan
yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti
merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
Untuk
malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori
sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil
malpractice dan Administrative malpractice.
1.
Criminal malpractice
Perbuatan
seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
a.
Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan
perbuatan tercela.
b.
Dilakukan
dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan
(intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
· Criminal
malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya
melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332
KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa
indikasi medis pasal 299 KUHP).
· Criminal
malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
· Criminal
malpractice yang bersifat negligence (lalai)
misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien,
ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban
didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain
atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil
malpractice
Seorang
tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
a.
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
d.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung
jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau
korporasi
dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius
liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan)
selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3.
Administrative malpractice
Tenaga
perawatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala
tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui
bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan
menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan
bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja,Surat Ijin
Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan
tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan
melanggar hukum administrasi.
Dalam hal tenaga perawatan didakwa telah
melakukan ciminal malpractice,harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga
perawatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni :
a. Apakah perbuatan (positif act atau
negatif act) merupakan perbuatan yang tercela.
b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan
dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya
kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga perawatan
dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia,
menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan
tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang
hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil
malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara
langsung
Oleh
Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a.
Duty (kewajiban)
Dalam
hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah
bertindak berdasarkan :
1)
Adanya indikasi medis
2)
Bertindak secara hati-hati dan teliti
3)
Bekerja sesuai standar profesi
4)
Sudah ada informed consent.
b.
Dereliction of Duty (penyimpangan
dari kewajiban)
Jika
seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab
langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan
untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini
haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat
sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu
pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan
oleh si penggugat (pasien).
2. Cara
tidak langsung
Cara
tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin
res ipsa loquitur).
Doktrin
res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi
kriteria:
a.
Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b.
Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan
c.
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak
ada contributory negligence.
Misalnya
ada kasus saat tenaga perawatan akan mengganti/ memperbaiki kedudukan jarum
infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut
. Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak
langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga perawatan, karena:
a.
Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b.
Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab perawat.
c.
Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
C.
Kode Etik Keperawatan
Kode
etik merupakan persyaratan profesi yang memberikan penentuan dalam
mempertahankan dan meningkatkan standar profesi. Kode etik menunjukan bahwa
tanggung jawab terhadap kepercayaan masyarakat telah diterima oleh
profesi(Kelly, 1987). Jika anggota profesi melakukan suatu pelanggaran terhadap
kode etik tersebut, maka pihak organisasi berhak memberikan sanksi bahkan bisa
mengeluarkan pihak tersebut dari organisasi tersebut. Dalam keperawatan kode
etik tersebut bertujuan sebagai penghubung antara perawat dengan tenaga medis,
klien, dan tenaga kesehatan lainnya, sehingga tercipta kolaborasi yang maksimal.
Perawat
professional tentu saja memahami kode etik atau aturan yang harus dilakukan,
sehingga dalam melakukan suatu tindakan keperawatan mampu berpikir kritis untuk
memberikan pelayanan asuhan keperawatan sesuai prosedur yang benar tanpa ada
kelalaian.
Fungsi Kode Etik
Perawat
Kode etik perawat yang berlaku saat ini berfungsi sebagai landasan
atau pedoman bagi status perawat profesional yaitu dengan cara:
- Menunjukkan kepada masyarakat bahwa perawat
diharuskan memahami dan menerima kepercayaan dan tanggungjawab yang
diberikan kepada perawat oleh masyarakat
- Menjadi pedoman bagi perawat dalam
berperilaku dan menjalin hubungan keprofesian sebagai landasan dalam
penerapan praktek etikal
- Menetapkan hubungan-hubungan profesional yang
harus dipatuhi yaitu hubungan perawat dengan pasien/klien sebagai
advokator, perawat dengan tenaga profesional kesehatan lain sebagai teman
sejawat, dengan profesi keperawatan sebagai seorang kontributor dan dengan
masyarakat sebagai perwakilan dari asuhan kesehatan
- Memberikan sarana pengaturan diri sebagai
profesi.
Kode Etik Keperawatan Indonesia
Dalam profesi perawat, seorang perawat harus mampu
memahami dan menerapkan berbagai kode etik yang menjadi dasar mereka bertindak
khususnya dalam tindakan asuhan keperawtan. Beberapa kode etik yang ada di
Indonesia yang harus di miliki oleh seorang perawat professional yaitu:
- Tanggungjawab Perawat terhadap
Individu, Keluarga, dan Masyarakat
- Perawat berpedoman kepada tanggungjawab dari
kebutuhan akan keperawatan individu, keluarga dan masyarakat.
- Perawat memelihara suasana lingkungan yang
menghormati nilai-nilai budaya, adat-istiadat, dan kelangsungan hidup
beragama dari individu, keluarga, dan masyarakat.
- Perawat senantiasa dilandasi dengan rasa tulus
ikhlas sesuai dengan martabat dan tradisi luhur keperawatan.
- Menjalin hubungan kerja sama dengan individu,
keluarga, dan masyarakat dalam mengambil prakarsa dan mengadakan upaya
kesehatan.
- Tanggungjawab terhadap Tugas
- Memelihara mutu pelayanan keperawatan yang
tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta
ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu, keluarga dan
masyarakat.
- Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali
jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
- Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan
keterampilan keperawatan untuk tujuan yang bertentangan dengan
norma-norma kemanusiaan.
- Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya
senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh
pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin,
aliran politik, dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
- Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan
dan keselamatan klien dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang
dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalihtugaskan
tanggungjawab yang ada hubungannya dengan keperawatan.
6.
Tanggungjawab terhadap Sesama Perawat dan Profesi
Kesehatan Lainnya.
- Perawat senantiasa memelihara hubungan baik
antara sesama perawat dan dengan tenaga kesehatan lainnya, baik dalam
memelihara kerahasiaan suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai
tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
- Perawat senantiasa menyebarluaskan pengetahuan,
keterampilan, dan pengalamannya kepada sesama perawat serta menerima
pengetahuan dan pengalaman dari profesi lain dalam rangka meningkatkan
kemampuannya.
- Tanggungjawab terhadap Profesi Keperawatan
- Perawat senantiasa berupaya meningkatkan
kemampuan profesional secara mandiri dan bersama-sama dengan jalan
menambah ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang bermanfaat
bagi perkembangan keperawatan.
- Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik
profesi keperawatan dengan menunjukkan perilaku dan sifat pribadi yang
luhur.
- Perawat senantiasa berperan dalam menentukan
pembakuan pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkan dalam
kegiatan dan pendidikan keperawatan.
- Perawat secara bersama-sama membina dan
memelihara mutu organisasi profesi keperawatan sebagai sarana
pengabdiannya.
- Tanggungjawab terhadap Pemerintah,
Bangsa, dan Negara
a.
Perawat senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kebijaksanaan
yang diharuskan oleh pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.
b. Perawat
senantiasa berperan secara aktif dalam menyumbangkan pikiran kepada pemerintah
dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada masyarakat.
Secara umum, tujuan kode etik keperawatan adalah
sebagai berikut (kozier, Erb. 1990) :
a) Sebagai aturan dasar terhadap hubungan
perawat dengan perawat, pasien, dan anggota tenaga kesehatan lainnya.
b) Sebagai standar dasar untuk mengeluarkan
perawat jika terdapat perawat yang melakukan pelanggaran berkaitan kode etik
dan untuk membantu perawat yang tertuduh suatu permasalahan secara tidak
adil.
c) Sebagai dasar pengembangan kurikulum
pendidikan keperawatan dan untuk mengorientasikan lulusan keperawatan
dalam memasuki jajaran praktik keperawatan profesional.
d) Membantu masyarakat dalam memahami perilaku
keperawatan profesional.
D. Standar
Etik dan Legal dalam Keperawatan
Setiap saat bekerja dan berhubungan dengan klien,
rekan kerja, dan seluruh komunitas tentu saja perawat selalu dihadapkan dengan
pengambilan keputusan dalam setiap tindakan yang dilakukan berkaitan dengan
etika dan moral. Terdapat dua aturan yang harus ditaati oleh perawat
professional dalam mengambil tindakan yaitu:
- Standar etik
Panduan perilaku moral yaitu seseorang
yang memberikan layanan kesehatan harus bersedia secara sukarela dalam
mengikuti standar etik.
2.
Hukum legal
Panduan
berperilaku sesuai hukum yang sah. Jika aturan tersebut tidak dipatuhi maka
perawat wajib menerima tanggung gugatnya.
E.
Perilaku Etik Dalam Tindakan Keperawatan Professional
Perilaku Etik
Dua perilaku etik yang harus dimiliki oleh perawat
profesional yaitu:
- Etik yang Berorientasi pada Kewajiban
Dalam hal ini, pedoman perawat
adalah apa saja yang harus wajib dilakukan dan kewajibannya dalam bertindak.
2.
Etik yang Berorientasi pada Larangan
Pedoman yang
digunakan adalah apa saja yang dilarang yang tidak boleh dilakukan oleh perawat
sesuai kewajiban dan kebajikan.
F. Asas Etik
dalam Keperawatan
Terdapat enam asas etik dalam keperawatan yaitu:
- Asas menghormati otonomy klien( autonomy)
- Asas manfaat( beneficence)
- Asas tidak merugikan (non –maleficence)
- Asas kejujuran( veracity)
- Asas kerahasiaan ( confidentiality)
- Asas keadilan( justice)
- Autonomy yaitu klien memiliki hak untuk
memutuskan sesuatu dalam pengambilan tindakan terhadapnya. Seorang perawat
tidak boleh memaksakan suatu tindakan pengobatan kepada klien.
- Beneficence yaitu semua tindakan dan
pengobatan harus bermanfaat bagi klien. Oleh karena itu, perlu kesadaran
perawat dalam bertindak agar tindakannya dapat bermanfaat dalam menolong
klien.
- Non- maleficence yaitu
setiap tindakan harus berpedoman pada prinsip primum non nocere (
yang paling utama jangan merugikan). Resiko fisik, psikologis, dan sosial
hendaknya diminimalisir semaksimal mungkin.
- Veracity yaitu dokter maupun perawat
hendaknya mengatakan sejujur-jujurnya tentang apa yang dialami klien serta
akibat yang akan dirasakan oleh klien. Informasi yang diberikan hendaknya
sesuai dengan tingkat pendidikan klien agar klien mudah memahaminya.
- Confidentiality yaitu perawat maupun dokter
harus mampu menjaga privasi klien meskipun klien telah meninggal dunia.
- Justice yaitu seorang perawat
profesional maupun dokter harus mampu berlaku adil terhadap klien meskipun
dari segi status sosial, fisik, budaya, dan lain sebagainya.
G. Tindakan
Perawat Profesional
Tindakan praktik keperawatan profesional adalah
suatu proses ketika perawat berkaitan langsung dengan klien dan dalam
tindakan ini masalah klien dapat di identifikasi dan di atasi.
A. Karakteristik
Perawat Profesional
- Otoriter yaitu memiliki kewenangan
sesuai keahliannya yang akan mempengaruhi proses asuhan melalui peran
profesional.
- Accountability yaitu tanggung gugat terhadap
apa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan
bertanggung jawab terhadap klien, diri sendiri, dan profesi serta
mengambil keputusan sesuai dengan asuhan. Jika perawat profesional dalam
melakukan tindakan atau praktik keperawatan tidak sesuai etik, maka kita
dapat menyelesaikannya dengan:
a) D= Define
the problem
b) E=
Ethical review
c) C=
Consider the option
d) I=
Investigate outcome
e) D=
Decide on action
f)
E= Evaluate result
Contoh Kasus “Kasus Jari Bayi Tergunting”
Seorang perawat tidak sengaja menggunting jari bayi.
Dan konyolnya, perawat itu tidak meminta pertolongan dokter tetapi membuang
jari tersebut ke bak sampah. Kejadian tersebut mungkin tidak akan segera diketahui
jika tidak ada seorang staf RS anak di Inggris salford yang melihat
tangan bayi tersebut berdarah. Bayi tersebut baru berusia tiga minggu.
Pencarian masih tetap dilakukan dan beruntung jari bayi tersebut masih
ditemukan di bak sampah. (Keterangan juru bicara rumah sakit Inggris
Salford ).
Cara penyelesaian:
a) Define the problem/
memperjelas masalah yaitu mengkaji prosedur keperawatan yang seharusnya
dilakukan, dokumentasi keperawatan, serta rekam medis.
b) Ethical review/
identifikasi komponen etik perawat harus mampu menggambarkan komponen-komponen
etik yang terlibat. Komponen etik dan hukum dalam masalah ini berkaitan
dengan kelalaian dan malpraktik
c) Identifikasi orang
yang terlibat karena yang menjadi korban adalah bayi maka yang berhak
memberikan sanksi adalah orang tua bayi. Sedangkan yang terlibat adalah
perawat, staf rumah sakit dan dokter yang melihat tangan bayi tersebut
berdarah.
d) Identifikasi alternatif
yang terlibat yaitu:
- Menjelaskan dengan jalan damai dan kekeluargaan
- Jika
perawat tidak mau bertanggung jawab maka jalan terakhir adalah pengadilan
hukum.
e)
Terapkan
prinsip-prinsip etik yaitu nonmaleficence, beneficence, dan justice.
f) Memutuskan
tindakan yaitu pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip
etik.
H. Masalah
Legal Dalam Etik Keperawatan
Hukum dikeluarkan oleh badan pemerintah dan
harus dipatuhi oleh setiap warganya. Jika tidak mematuhi hukum maka
setiap orang akan terikat denda atau bahkan hukuman penjara. Namun secara
hukum, kita tidak perlu takut akan terikat denda atau hukuman penjara jika :
- Hanya melakukan hal-hal yang diajarkan dan hanya
ada pada cakupan pelatihan anda.
- Selalu memiliki keterampilan dan pengetahuan yang
terbaru.
- Menempatkan keselamatan dan kesejahteraan pasien
sebagai hal yang terpenting.
Bentuk Kelalaian Perawat dalam Melakukan
Tindakan Asuhan Keperawatan
Pada dasarnya, bentuk kelalaian yang dilakukan perawat
tersebut dapat diketahui dari hasil kerjanya. Untuk lebih jelasnya, 2 bentuk kelalaian
tersebut adalah:
- Tidak melakukan pekerjaan maupun tindakan sesuai
yang diharapkan, misalnya: pasien terbakar karena cairan enema yang
disiapkan terlalu panas.
- Tidak melakukan tugas dengan hati-hati, misalnya:
pasien terjatuh dan cedera karena perawat tidak memperhatikan penghalang
tempat tidur klien.
Contoh Pelanggaran Kode Ktik Perawat
Berbagai macam pelanggaran kode etik perawat yaitu:
- Tindakan Aborsi adalah menggugurkan kandungan
- Euthanasia adalah keinginan pasien untuk mati
dengan bantuan tenaga medis, karena nyawa pasien tersebut akan mati
beberapa waktu kemudian.
- Diskriminasi pasien HIV yaitu membedakan pasien
terkena HIV
- Diskriminasi SARA yaitu membedakan pasien dari
segi status, budaya,ras dan agama.
Kasus malpraktek
Wooten
v. U.S.(D.C.Teen.1982)
Seorang
Lansia, Tn.MOW (68 tahun), memiliki riwayat hipertensi. Saat itu, Tn. MOW telah
dirawat di Rumah Sakit W, sejak 2 Minggu yang lalu. Tn. MOW di diagnosa,
nefrosklerosis maligna. Tn. MOW sering mengeluh sakit kepala, gelisah, penglihatan
kabur, dan terkadang disertai mual. Sejak masuk rumah sakit, keluarga Tn. MOW
hanya berkunjung 2 kali dalam seminggu.
Suatu
ketika Tn. MOW, ditemukan terjatuh di bawah tempat tidur, karena perawat lalai
untuk memasang bedrails. Dari kejadian tersebut, Tn. MOW mengalami fraktur
kepala dan kontusio serebral. Akibatnya pasien harus menjalani pembedahan otak.
Pasien kemudian menderita kelumpuhan pada bagian tubuh sebelah kanan.
Pengadilan
memutuskan bahwa rumah sakit harus mengganti kerugian sejumlah 80.000$. para
perawat yang merawat mengatakan bahwa pada saat itu keadaan pasien sudah
membaik oleh karena itu tidak perlu dipasang penghalang ranjang. Hakim
mengatakan bahwa melihat usia dan keadaan fisik pasien dan pengobatan yang
diberikan kepadanya, tidak memasang penghalang ranjang adalah kelalaian.
Opini Kelompok Berdasarkan Konsep
Malpraktek dan Kode Etik
Malpraktek
adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk menggunakan tingkat
kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance mutuellede los
angelos, california, app.2d 1, 172 P.2d 359,1956).
Kelalaian
dirumuskan sebagai “sikap tindak yang jatuh di bawah standard yang ditentukan
oleh hukum untuk perlindungan orang lain terhadap risiko cedera yang sewajarnya
tidak harus terjadi”(Restatement (Second) of Torts,par.282 (1985).
Untuk malpraktek hukum atau yuridical
malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar,
yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative
malpractice. Kasus di atas berkaitan dengan point pertama
dalam yuridical malpractice, yaitu criminal malpractice yang
bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan
luka, cacat atau meninggalnya pasien.
Pada
kasus tersebut, perawat lalai dalam memperhatikan keamanan dan keselamatan
pasien. Padahal para perawat tahu mengenai kondisi pasien yang sebenarnya,
bukan berarti karena pasien telah berada dalam kondisi baik, kita tidak perlu
melakukan tindakan safety. Mengingat usia pasien dan penyakitnya, menurut
kelompok kami, sangatlah penting tindakan pengamanan dengan memasang bedrails
untuk mencegah kejadian-kejadian yang dapat merugikan pasien dan perawat itu
sendiri. Sungguh sangat disayangkan, pasien yang semulanya ingin sembuh dari
penyakitnya, justru menjadi semakin buruk keadaanya, dengan cacat yang didapat
selama pelayanan, dikarenakan kelalaian tenaga kesehatan, dalam hal ini
khususnya perawat.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal
malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak
dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan. Meskipun secara hukum pertanggung
jawabannya bersifat individual/personal, masyarakat pasti juga akan beranggapan
bahwa instansi kesehatan yang bersangkutan, kualitas pelayanannya meragukan,
karena menyediakan SDM/ tenaga keperawatan yang kurang profesional dalam
pemberian pelayanan kesehatan, sehingga merugikan pasiennya.
Pada dasarnya perawat professional tentu
saja harus memahami kode etik atau aturan yang harus dilakukan, sehingga dalam
melakukan suatu tindakan keperawatan mampu berpikir kritis untuk memberikan
pelayanan asuhan keperawatan sesuai prosedur yang benar tanpa ada kelalaian,
seperti pada kasus di atas. Jika perawat profesional dalam melakukan tindakan atau
praktik keperawatan tidak sesuai etik, maka dapat diselesaikan dengan cara :
a) Define the problem/
memperjelas masalah yaitu mengkaji prosedur keperawatan yang seharusnya
dilakukan, dokumentasi keperawatan, serta rekam medis.
b) Ethical review/
identifikasi komponen etik perawat harus mampu menggambarkan komponen-komponen
etik yang terlibat. Komponen etik dan hukum dalam masalah ini berkaitan
dengan kelalaian dan malpraktik
c) Identifikasi orang
yang terlibat karena yang menjadi korban adalah bayi maka yang berhak
memberikan sanksi adalah orang tua bayi. Sedangkan yang terlibat adalah
perawat, staf rumah sakit dan dokter yang melihat tangan bayi tersebut
berdarah.
d) Identifikasi alternatif
yang terlibat yaitu:
a. Menjelaskan
dengan jalan damai dan kekeluargaan
b. Jika perawat
tidak mau bertanggung jawab maka jalan terakhir adalah pengadilan hukum.
e)
Terapkan
prinsip-prinsip etik yaitu nonmaleficence, beneficence, dan justice.
f) Memutuskan
tindakan yaitu pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip
etik.
Oleh karena itu sebagai tindakan
pencegahan dari hal-hal yang tidak diinginkan apalagi sampai merugikan pasien,
hendaknya sebagai calon perawat maupun para perawat harus mampu memahami dengan
baik dan benar tentang kode etik dan salah satu kuncinya yaitu banyak membaca
dan memahami pentingnya keselamatan pasien sehingga keinginan untuk mempelajari
kode etik sebagai landasan tindakan bisa lebih bermanfaat.
2.8
Masalah
Penelitian
Judul
Jurnal Penelitian : PERTIMBANGAN DAN ALASAN PASIEN HIPERTENSI MENJALANI TERAPI ALTERNATIF KOMPLEMENTER BEKAM DI KABUPATEN
BANYUMAS
Oleh
: Ridlwan Kamaluddin (Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu
Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman)
ABSTRACT
Current
trends in treatment of hypertension was use of complementary and alternative
therapy (CA T). Selection of treatment
of hypertension is influenced by many factors such as culture, education,
beliefs, religion and others. In Banyumas, there are several complementary and alternative therapies
clinics and one of the most
widely used therapies
by people to treat hypertension
was cupping therapy . The aim of this research will explore considerations and reasons for
hypertensive patients who
undergone complementary alternative
therapies; cupping therapy
. This
study used descriptive
phenomenological
qualitative design of hypertensive patients who undergone
cupping therapy . Data were obtained through in-depth interviews. Colaizzi
method used in data analysis process. The theme of the first study was the
decision-making process that includes social factors (family support,
discussion with the family) and psychological
(believed to someone
else). The second
theme was the
reason for undergone cupping therapy such keep away from the side
effects of drugs, affordable prices, the efficacy of therapy
and religious teachings.
The reason of hypertensive patients
who undergone cupping therapy was very varied and unique. Researchers
suggest the need for nurses as a cupping therapy practitioners and serve as one
of the nursing services provided to the public.
Key
words : considerations, reasons, hypertension, cupping therapy
PENDAHULUAN
Lebih
dari seperempat jumlah populasi
dunia saat ini
menderita hipertensi. Data WHO
menyebutkan, jumlah penderita hipertensi di India tahun 2000 adalah 60,4
juta dan diperkirakan sebanyak
107,3 juta pada
tahun 2025 (terjadi kenaikan
sebesar 56%). Di Cina pada tahun 2000 sebanyak 98,5 juta orang menderita
hipertensi dan tahun 2025 diperkirakan
menjadi 151,7 juta (kenaikan sebesar
65%). Sedangkan di bagian
lain Asia tercatat tahun 2000 sebesar 38,4 juta penderita hipertensi
dan tahun 2025 sebesar 67,3 juta (kenaikan sebesar
57%).
Data
ini menunjukkan bahwa hipertensi masih menjadi ancaman bagi masyarakat dunia
(Lazuardi, 2008). Di Indonesia banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15
juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi
6-15% pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita
hipertensi sehingga mereka
cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari
dan tidak mengetahui faktor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial. Saat ini penyakit
degeneratif dan kardiovaskuler sudah merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia (Ririn,2008). Terapi nonfarmakologis harus diberikan
kepada semua pasien hipertensi primer dengan tujuan menurunkan tekanan darah
dan mengendalikan faktor risiko serta penyakit penyerta lainnya (Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, et.al
2006). Ketidakpatuhan pasien terhadap modifikasi gaya hidup yaitu konsumsi
alkohol, pengendalian berat badan, termasuk pengendalian stres dan kecemasan
merupakan salah satu penyebab terjadinya hipertensi resisten (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, et.al 2006).
Terapi
alternatif komplementer adalah sebuah
kelompok dari bermacam- macam sistem
pengobatan dan perawatan kesehatan,
praktek dan produk yang secara umum tidak menjadi bagian dari
pengobatan konvensional (National
Institute of Health, 2005). Frekuensi dari pemanfaatan terapi alternatif
komplementer meningkat pesat diseluruh pelosok dunia. Perkembangan tersebut
tercatat dengan baik di afrika dan populasi secara global antara 20% sampai
dengan 80%. Hal yang menarik dari terapi alternatif komplementer ini didasarkan
pada asumsi dasar dan prinsip-prinsip sistem yang beroperasi (Amira & Okubadejo,
2007). Terbukti bahwa pemanfaatan terapi alternatif komplementer
mengalami peningkatan secara global, dan pengakuan diberikan oleh penyedia asuransi kronik meningkat, adanya
kegagalan penggunaan obat modern untuk
penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi
mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar, 2006).
Menurut teori
Lawrence yang dikutip Soekidjo
Notoatmodjo (2003), kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2
faktor pokok, yaitu perilaku (behavior causes) dan faktor dari luar perilaku
(Non-behavior causes), selanjutnya perilaku itu sendiri terbentuk 3
faktor, yaitu: Faktor
predisposisi yaitu faktor yang
mempermudah dan mendasari terjadinya perilaku tertentu yang terwujud dalam
bentuk pengetahuan dari pendidikan formal, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan budaya serta
beberapa karakteristik individu yaitu : pengetahuan tentang terapi alternatif
komplementer; Faktor pemungkin (Enabling factor) yaitu yang memungkinkan untuk
terjadinya perilaku tertentu terbentuk
yang berwujud dalam lingkungan fisik dan ketersediaan fasilitas dan
sarana kesehatan yaitu ketersediaan, ketercapaian fasilitas dan ketrampilan
yang berkaitan dengan kesehatan; Faktor
pendorong (reinforcing factor) yaitu faktor yang memperkuat terjadinya
perilaku tersebut yaitu mendapat dukungan dari keluarga/kerabat, teman, petugas
kesehatan dan lain-lain.
Di
Kabupaten Banyumas, penduduk paling banyak menganut agama Islam dan masyarakat
masih sangat kental dengan
pengobatan bernuansa spiritual.
Faktor
pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal dinegara maju adalah
usia harapan hidup yang lebih panjang
pada saat prevalensi
penyakit saat ini menggunakan terapi alternatif dan komplementer, salah satunya yaitu
menggunakan terapi bekam atau Hijamah. Hijamah sudah digunakan semenjak
zaman Rasulullah Muhammad SAW (Y asin, 2007).
Menurut data dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, terdapat 90 tempat terapi alternatif
komplementer yang ada di Kabupaten Banyumas. Dari pengamatan lapangan
yang telah dilakukan di salah
satu tempat terapi alternatif komplementer di Kabupaten Banyumas, menunjukkan
bahwa pasien yang paling banyak
mendapatkan menjalani terapi alternatif komplementer adalah pasien
hipertensi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh
informasi yang mendalam tentang
pendapat dan perasaan seseorang yang memungkinkan untuk mendapatkan hal
– hal yang
tersirat tentang sikap, kepercayaan,
motivasi dan perilaku
individu (Pollit, Beck
& Hungler,2001). Penelitian
kualitatif mempelajari setiap masalah
dengan menempatkannya pada situasi alamiah dan memberikan makna atau
mengintrepretasikan suatu fenomena
berdasarkan hal -
hal yang berarti bagi
manusia (Creswell, 1998). Selain itu
penelitian kualitatif juga merupakan penelitian yang mempercayai
tidak ada realitas tunggal dalam kehidupan dan apa yang kita ketahui mempunyai
banyak arti (Burns & Grove, 1999).
Pendekatan
yang digunakan pada penelitian ini adalah fenomenologi yaitu penelitian yang
berfokus pada penemuan fakta mengenai pertimbangan dan alasan pasien hipertensi menjalani terapi
alternatif komplementer bekam yang
ditekankan pada usaha untuk memahami tingkah laku berdasarkan perspektif
pasien yang mengalaminya. Fenomenologi merupakan suatu metode
penelitian yang kritis
dan menggali fenomena yang ada secara sistematis (Steubert
& Carpenter,2003). Metode ini
memahami individu dengan segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif,
melihat manusia sebagai sistem yang berpola dan berkembang (Poerwandari, 2005).
Partisipan atau
sampel penelitian ini adalah
pasien hipertensi yang menjalani terapi alternatif komplementer bekam. Jumlah
partisipan pada penelitian ini sebanyak 6 partisipan. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan adalah purposive
sampling. Kriteria sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) pasien
hipertensi yang sedang menjalani terapi alternatif
komplementer bekam; (2) pasien yang terdiagnosa hipertensi oleh dokter (3)
bersedia menjadi partisipan dalam penelitian yang dibuktikan dengan
menandatangani surat pernyataan persetujuan penelitian; (4) mampu berkomunikasi dengan baik. Penelitian ini dilakukan di klinik terapi alternatif
komplementer bekam yang menyelenggarakan pengobatan terhadap masalah hipertensi, yaitu klinik An-Nahl dan Klinik
Natura Syifa Purwokerto. Pengambilan
data dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan
partisipan. Dari keenam partisipan, tempat pengambilan data berada di rumah
partisipan masing-masing sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Pengambilan data
penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2010-Juni 2010.
Penelitian ini
sangat menjunjung kode etik
penelitian dimana identitas informan
menggunakan kode atau inisial
saja. Pertimbangan etik meliputi aspek self determination, privacy dan dignity,
anonimity, confidentiality dan protection from discomfort
(Polit & Hungler,
2001).
Alat
pengumpulan data yang digunakan adalah peneliti sendiri, pedoman wawancara,
alat tulis, field notes dan MP3. Pada pengumpulan data dengan wawancara, strategi
yang digunakan adalah open ended
interview dimana hal ini
merupakan hal yang utama dalam riset kualitatif karena memberikan kesempatan
kepada partisipan untuk menjelaskan sepenuhnya
pengalaman mereka (Robinson,
2000). Pengumpulan data tidak hanya dilakukan dengan wawancara, peneliti juga
membuat catatan lapangan
(field note) yang berisikan deskripsi
tentang tanggal, waktu, dan informasi
dasar tentang suasana saat wawancara seperti
tatanan lingkungan, interaksi sosial dan aktivitas yang berlangsung saat
wawancara dilakukan. Catatan lapangan
pada penelitian kualitatif dibuat pada saat proses wawancara berlangsung
dari masing- masing partisipan agar tidak terjadi kesalahan (Poerwandari,2005;
Streubert & Carpenter, 1999). Proses analisis data dilakukan secara
simultan dengan proses pengumpulan data.
Adapun tahapan proses analisis
data menggunakan
langkah-langkah dari Colaizzi (1978, dalam Streubert &
Carpenter, 1999) adalah sebagai berikut :
1. Memiliki gambaran yang jelas tentang fenomena yang
diteliti, yaitu pertimbangan dan alasan pasien hipertensi yang menjalani terapi
alternatif komplementer.
2. Mencatat data yang diperoleh yaitu hasil
wawancara dengan partisipan mengenai pertimbangan dan alasan pasien hipertensi
yang menjalani terapi alternatif komplementer, transkripsi dilakukan dengan
cara merubah dari rekaman suara menjadi bentuk tertulis secara verbatim dan
hasil catatan lapangan yang
dibuat selama proses wawancara terhadap partisipan sebagai tambahan untuk
analisis selanjutnya. Proses
transkripsi dibuat setiap selesai melakukan wawancara dengan satu partisipan dan
sebelum wawancara dengan
partisipan yang lain.
3. Membaca
hasil transkrip secara berulang – ulang sebanyak 4 – 5 kali dari semua
partisipan agar peneliti lebih memahami pernyataan – pernyataan partisipan tentang pertimbangan dan alasan
pasien hipertensi yang menjalani terapi alternatif komplementer secara
mendalam.
4. Membaca
transkrip untuk memperoleh ide yang dimaksud partisipan yaitu berupa kata kunci
dari setiap pernyataan partisipan, yang kemudian diberi
garis bawah pada pernyataan yang penting agar bisa dikelompokkan.
5. Menentukan arti setiap pernyataan yang penting
dari semua partisipan dan pernyataan yang berhubungan dengan pertimbangan dan
alasan pasien hipertensi yang menjalani terapi
alternatif komplementer.
6. Melakukan
pengelompokkan data kedalam berbagai kategori untuk selanjutnya dipahami secara
utuh dan dan menentukan tema-tema
utama yang muncul.
7. Peneliti
mengintegrasikan hasil secara
keseluruhan kedalam bentuk deskripsi naratif mendalam tentang pertimbangan dan
alasan pasien hipertensi yang menjalani terapi alternatif komplementer.
8. Peneliti
kembali ke partisipan untuk klarifikasi data hasil wawancara berupa transkrip
yang telah dibuat kepada partisipan,
untuk memberikan kesempatan kepada partisipan menambahkan informasi yang
belum diberikan pada saat wawancara pertama
atau ada informasi
yang tidak ingin
dipublikasikan dalam penelitian.
9. Data
baru yang diperoleh saat dilakukan validasi kepada partisipan digabungkan ke
dalam transkrip yang telah disusun peneliti berdasarkan persepsi partisipan.
HASIL DAN BAHASAN
Berdasarkan temuan
pada penelitian ini, hasil
penelitian ini menemukan dua tema pada
penelitian ini. Kedua tema berdasarkan temuan pada penelitian ini meliputi :
1. Proses
pengambilan keputusan menjalani terapi bekam.
2. Alasan
klien menjalani terapi bekam.
Tema
pertama tentang proses pengambilan keputusan memilih terapi bekam, pada
penelitian ini ditemukan dua faktor yang mempengaruhi proses pengambilan
keputusan memilih terapi bekam yaitu adanya faktor sosial dan faktor psikologis. Tema kedua
tentang alasan menjalani terapi bekam, pada penelitian ini ditemukan beberapa
alasan menjalani terapi bekam yang
meliputi aspek fisiologis, psikologis, ekonomi dan spiritual. Selanjutnya
peneliti membahas secara rinci masing-masing tema yang teridentifikasi berdasarkan
tujuan penelitian yang dicapai.
Proses
Pengambilan Keputusan dalam pemilihan Terapi Bekam
Berdasarkan
hasil penelitian ini, ditemukan
data dan informasi
bahwa proses pengambilan keputusan terdiri dai dua faktor yaitu faktor
sosial dan faktor psikologis. Faktor sosial yang mempengaruhi partisipan dalam
mengambil keputusan untuk memilih terapi bekam adalah dengan berdiskusi dengan
anggota keluarga dan karena adanya dukungan dari anggota keluarga. Hal ini
sesuai dengan apa yang disampaikan menurut teori Lawrence yang dikutip Soekidjo
Notoatmodjo (2003), kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2
faktor pokok, yaitu perilaku (behavior causes) dan faktor dari
luar perilaku (Non-behavior causes). Salah satu faktor perilaku adalah faktor
memperkuat/pendorong (reinforcing factor) yaitu faktor yang memperkuat
terjadinya perilaku tersebut yaitu mendapat dukungan dari keluarga/kerabat,
teman, petugas kesehatan dan lain-lain.
Faktor
psikologis yang mempengaruhi
partisipan dalam mengambil
keputusan untuk memilih terapi bekam
adalah adanya rasa
percaya kepada keluarga ataupun
orang lain. Bangsa Indonesia telah
lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai
salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang
tanaman berkhasiat obat berdasar pada
pengalaman dan ketrampilan yang
secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya (Sukandar, 2006). Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa penggunaan terapi alternatif komplementer sudah digunakan sejak nenek
moyang dan perilaku tersebut mendapatkan dukungan dari keluarga
karena adanya keyakinan dan
kepercayaan dalam masyarakat secara turun temurun.
Proses
pengambilan keputusan dimulai dengan penerimaan informasi, memproses berbagai
informasi dengan kemungkinan dampaknya, kemudian mengambil keputusan dari
berbagai kemungkinan dan melaksanakannya. Proses pengambilan
keputusan dipengaruhi oleh faktor psikologis dan sosiologis yang
berinteraksi secara tidak logis. Keputusan yang diambil orang sakit penting
bagi pengobat untuk menilai hasil terapi dan kemungkinan hasil yang diharapkan
(Supardi, 1996).
Menurut hasil
penelitian dari Lorenc, Clarke,
Robinson & Blair (2009) tentang How parents choose to use CAM: a.
systematic review of theoretical models
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam memilih
terapi alternatif komplementer adalah adanya keinginan (nilai-nilai pribadi,
tujuan), kepercayaan (harapan terhadap proses dan hasil pengobatan, pengetahuan
dan faktor lainnya seperti
kemudahan akses.Selain itu ada
dua pendekatan dominan dalam pengambilan keputusan menggunakan terapi
alternatif komplementer yaitu (1) konsep
dari pemanfaatan fasilitas kesehatan mengenai kesempatan dan
keterlibatan dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan, (2) perilaku kesehatan
dimana pengambilan keputusan terapi alternatif komplementer di gambarkan dalam
kerangka sosial dan psikologis terutama faktor kognitif.
Alasan
klien menjalani terapi alternatif komplementer bekam
Alasan klien
dalam menjalani terapi bekam
tercermin dalam sebuah tema alasan klien menjalani terapi alternatif komplementer
bekam. Berdasarkan data dan informasi dari partisipan, partisipan
menyatakan bahwa alasan menjalani terapi bekam meliputi aspek fisiologis, aspek
psikologis, aspek ekonomi dan aspek spiritual. Berbeda dengan hasil
penelitian Rayner, Mc Lachlan,
Forster and Cramer
(2009) tentang Australian women’s use of complementary and alternative
medicine to enhance fertility: exploring
the experience of women and
practitioners menyatakan bahwa
alasan yang menyebabkan peningkatan pemanfaatan terapi alternatif komplementer
adalah karena ketidak puasan dengan pengobatan
konvensional, kebutuhan akan control yang lebih dari keputusan pengobatan, perawatan penyakit kronis,
kelamiahan terapi
alternatif komplementer dan
adanya interaksi personal antara klien dengan praktisi.
Aspek
fisiologis yang menjadi alasan
klien dalam menjalani
terapi alternatif komplementer bekam adalah terbebasnya dari efek
samping obat kimia (Amira 2007, Shafiq 2003, Sirois 2008). Pengobatan tradisional
atau herbal semakin diperhatikan.
Banyak alasan mengapa masyarakat memilih cara ini. Pengobatan secara medis yang
semakin mahal, adanya efek samping untuk pemakaian obat kimiawi jangka panjang,
maupun kesembuhan melalui
cara medis yang tidak 100% khususnya untuk penyakit yang kronis (
Haryana, 2006 ).
Hal
ini sesuai dengan penelitian Amira (2007) tentang Frequency of complementary
and alternative medicine utilization in hypertensive patients attending an
urban tertiary care centre in Nigeria
menyatakan bahwa sebagian besar pasien hipertensi memilih
terapi alternatif komplementer dengan alasan kealamiahan terapi, dan tidak
adanya efek samping dari terapi
tersebut. Hal serupa juga sesuai dengan Shafiq et al (2003)
dalam penelitiannya tentang Prevalence and Pattern of use of
complementary and alternative medicine
(CAM) in hypertensive patients of tertiary care center in India menyatakan
bahwa menghindari efek samping adalah salah satu alasan penggunaan terapi
alternatif komplementer terhadap 59%
responden pada penelitian yang dilakukan di India.
Berdasarkan
hasi temuan pada penelitian ini bahwa salah satu alasan menjalani terapi bekam
adalah karena kemanjuran atau
kecocokan terapi terhadap penyakit yang
diderita. Menurut Sirois (2008) dalam penelitiannya tentang Motivations for consulting
complementary and alternative medicine practitioners: A comparison of consumers
from 1997-8 and 2005 menyatakan bahwa motivasi atau alasan masyarakat
mengunakan terapi alternatif dia
masih menganggap hal ini sebagai alasan utama dalam pemilihan pengobatan
alternatif. Meskipun faktor-faktor ekonomi memainkan peran
dalam pemilihan terapi alternatif
komplementer,faktor biaya tidak selalu dapat diprediksi. Sebagai contoh,
sebuah kesalahpahaman yang
biasa terjadi adalah bahwa pasien memilih terapi alternatif komplementer
dan pengobatan tradisional karena biaya yang lebih murah dibandingkan
pengobatan konvensional. Walaupun
banyak bukti biaya
perawatan alternatif komplementer adalah menggunakan pengobatan
alternatif, ketidakefektifan
pengobatan konvensional terhadap penyakit
yang di alami.
Alasan
komplementer dan pengobatan tradisional
lebih murah daripada
biaya pengobatan lainnya.
komplementer dapat memberikan
peran aktif kepada masyarakat
dalam memelihara kesehatan dan adanya efek samping yang
tidak diinginkan dari menemukan
bahwa biaya pengobatan alternatif komplementer dan pengobatan tradisional sama
atau lebih mahal dibandingkan pengobatan medis pengobatan konvensional.
Menurut Walcott (2004) salah satu alasan
pemilihan pengobatan
alternatif adalah faktor
ekonomi.Satu Salah satu
studi telah menunjukkan bahwa
pertimbangan keuangan bukan faktor utama
dalam memilih pengobatan tradisional. Pengobatan alternatif/tradisional yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan cukup banyak dibandingkan obat kimia, sehingga
ketersedian bahan-bahan tumbuhan
bisa menjalankan kemudahan akses dan kemudahan terapi (Winston dan Patel
1995 ).
Berdasarkan data dan informasi yang ditemukan pada
penelitian ini bahwa alasan
menjalani terapi bekam
adalah sebagai salah satu ibadah dalam rangka menjalankan ajaran
agama yang dianutnya. Pengobatan
dengan bekam sudah digunakan semenjak
zaman Nabi. Terbukti dengan
adanya hadis Nabi Muhammad SAW yang
berbunyi “Kesembuhan itu terdapat pada tiga hal, yaitu minuman madu, sayatan
alat bekam dan kay (pembakaran) dengan api, dan sesungguhnya aku melarang
umatku dari kay .” Sabda yang lain “Sungguh, pengobatan paling utama yang
kalian gunakan adalah bekam
”(Hadits Bukhari) (Y asin, 2007).
Beribadah
merupakan proses keimanan yang diawali dengan niat yang kemudian di amalkan dan
dilaksanakan dengan ketaatan. Dengan beragama manusia mempunyai aturan petunjuk
dan nasehat dalam menjalankan kehidupannya. Motivasi ibadah adalah
dorongan seseorang untuk
berbakti kepada Allah untuk mencapai tujuan hidupnya, yang ditunjukan
dengan sikap dan perilaku
yang baik yaitu
untuk mendapat ridho Allah. Beribadah adalah pengakuan kita terhadap
Allah, dimana kita bergantung hanya pada satu yaitu Allah yang menciptakan
manusia, dunia, dan alam semesta. Dengan pengakuan ini,
timbulkan rasa aman dalam jiwa manusia bahwa
ada pendukung hidupnya
yang amat dekat, yang tidak akan pernah membuatnya sedih.
Dalam
beribadah kita memerlukan motivasi, motivasi menggerakkan sikap, tanpa ada
motivasi yang didasari keikhlasan, apalagi semata-mata
hanya menjalankan kewajiban, maka ibadah tersebut menjadi kering tanpa makna.
Motivasi dibagi menjadi 2 bagian
penting yaitu:
a. Motivasi
utama atau motivasi psikologi.
Motivasi utama atau
psikologi adalah motivasi yang fitrah yang sudah menjadi tabiat dan bawaan
manusia sejak lahir, berhubungan erat
dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan fisik. motivasi psikologi yang
terpenting adalah motivasi menjaga kelangsungan hidup dengan pemenuhan rasa
lapar, haus , lelah, sakit , bernafas.
b. Motivasi
Kejiwaan (spiritual).
Motivasi kejiwaan dan
spiritual, seperti motivasi
untuk tetap konsisten menjalankan
ajaran agama, motivasi bertaqwa, mencintai kebaikan, kebenaran dan membenci
kezaliman. (Az- Zahrani, 2005).
SIMPULAN DAN SARAN
Proses
pengambilan keputusan pasien hipertensi yang menjalani terapi bekam mempertimbangkan faktor social dan faktor
psikologis. Faktor social yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan
memilih terapi bekam adalah adanya
dukungan dari keluarga
dan dengan diskusi dengan anggota keluarga. Faktor psikologis yang
mempengaruhi proses pengambilan keputusan memilih terapi bekam adalah karena
adanya kepercayaan dengan orang lain. Alasan klien dalam menjalani terapi altertif
komplementer digambarkan dalam satu tema yaitu alasan menjalani terapi bekam.
Alasan menjalani terapi bekam meliputi aspek fisiologis, ekonomi, psikologis
dan aspek spiritual. Aspek fisiologis yang menjadi alasan menjalani terapi
bekam adalah keinginan untuk terbebas dari efek samping obat. Aspek
ekonomi berupa harga terapi
bekam yang terjangkau, aspek
psikologis meliputi adanya kecocokan dengan terapi bekam serta
adanya aspek spiritual
berupa terapi bekam adalah salah satu ajaran agama tertentu.
Hasil
penelitian ini diharapkan bahwa perawat dapat memahami tentang terapi alternatif komplementer
bekam dan dapat menjadi praktisi terapi alternatif komplementer bekam,
peran lainnya adalah perawat
mempunyai peranan seperti care
provider, conselor, educator dan advocator dalam pelaksanaan terapi
alternatif komplementer bekam. Bagi pelayanan keperawatan, diharapkan dapat
dijadikan rekomendasi di bidang keperawatan sehingga terapi alternatif komplementer bekam
dapat dijadikan salah satu
intervensi keperawatan yang komprehensif
dan saling melengkapi dalam pemberian
asuhan keperawatan. Bagi
peneliti selanjutnya, diharapkan dapat dilakukan penelitian
tentang persepsi dan harapan pasien hipertensi yang menjalani terapi
alternatif komplementer bekam.
“Kami
memberikan salah satu contoh jurnal mengenai
alternatif penanganan hipertens karena, nefrosklerosis sendiri merupakan
jenis hipertensi berat. Pencegahan nefrosklerosis sendiri dapat dilakukan
dengan menjaga tekanan darah tetap normal. Banyak alternatif pengobatan atau
medis yang dapat digunakan untuk mengatasi hipertensi. Sebagai perawat, kita
dapat membuat sebuah penelitian dengan mengangkat permasalahan nefrosklerosis
“Pengaruh terapi bekam pada pasien hipertensi terhadap resiko nefrosklerosis”.
BAB
3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Nefrosklerosis
adalah pengerasan atau sklerosis arteri ginjal akibat hipertensi yang lama.
Penyakit ini menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan bercak nekrosis
parenkim rena, terjadi fibrosis dan glomerulus rusak.
Terdapat dua bentuk nefrosklerosis
:
a.
Nefrosklerosis maligna
Nefrosklerosis ganas terjadi pada hipertensi
maligna.
Hipertensi maligna paling sering terjadi akibat
tekanan darah tinggi yang tidak terkendali. Gejalanya berupa : Gelisah,
Linglung, Mengantuk, Penglihatan kabur, Sakit kepala, Mual,Muntah, Hematuria
makroskopik, Proteinuria berat, Peningkatan kreatinin plasma.
b.
Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis
jinak terjadi pada sebagian besar pasien hipertensi esensial. Penyebabnya
dikarenakan Nefrosklerosis benigna ini sering dihubungkan dengan
arterisklerosis/usia tua dan hipertensi. Gejalanya pasien dengan
nefrosklerosis benigna jarang mengeluh gejala renal, gejala yang muncul : Proteinuria
ringan dan Nokturia.
Pengobatan
Tekanan darah sangat
tinggi dapat diatasi dengan pengaturan diet dan obat-obatan. Penderita yang
mengalami gagal ginjal progresif menjalani dialisa.
Pencegahan
Pengawasan tekanan darah secara ketat pada orang-oarang
yang cenderung menderita hipetensi akan menurunkan resiko terjadinya
nefrosklerosis.
3.2
Saran
Sebagai mahasiswa
keperawatan diharapkan dapat memahami
dan mengetahui penyebab, gejala, pencegahan pada Nefrosklerosis sehingga
dalam melakukan tindakan keperawatan di masa mendatang dapat memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang sudah ditetapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Guyton, Arthur C. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta : EGC
Smeltzer,
S.C. & Bare, B.G. Brunner and
Suddarth’s textbook of medical–surgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa :
Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa
: Setyono, J. Jakarta: Salemba Medika; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1999)
Corwin, E.J. Handbook
of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001 (Buku
asli diterbitkan tahun 1996)
Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition.
Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun
1992)
Suyono, S, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2001
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Currently have 0 komentar: